Kamis, 11 November 2010
God's Diary
Berapa tahun lampau, kau hanyalah seorang anak bayi yang selalu menangis;
Sekarang, kau telah bertumbuh dan bukan menjadi seorang bayi cengeng lagi;
Kuingat doa pertama yang kau ucapkan saat orangtuamu mengajarkannya;
Senang rasanya mengingat peristiwa itu.
Dulu, kata-kata doamu begitu lugu dan apa adanya;
Saat ini dalam doamu, begitu banyak tuntutan yang kau layangkan kepadaku;
Kau selalu mencerca-Ku ketika apa yang Kuberikan tidak sesuai dengan tuntutanmu;
Sedih rasanya melihat kau yang seorang dewasa kembali menjadi seperti bayi lagi;
Tidak mengertikah kau sedikit saja tentang Aku?
Mungkin kau akan mengerti, ketika kau telah bersama-sama dengan Aku;
Banyak hal yang ingin Kuceritakan tentangmu arti hidup yang sesaat itu;
Hidup itu hanya ibarat uap yang sebentar kelihatan lalu lenyap;
Ketika saatnya tiba, kita semuanya dalam rumah-Ku;
Dalam KEABADIAN!!!
Depok, 11 November 2010 00.15 AM
Senin, 01 November 2010
SEPAKBOLA DAN AGAMA
Catatan Refleksional :
Sepakbola merupakan salah satu cabang olahraga yang sangat diminati oleh masyarakat dunia. Siapa yang tidak mengenal Ronaldo dengan gigi kelinci-nya? Atau, David Beckham dengan kegantengannya? Atau, Alessandro Del Piero dengan wibawanya di lapangan hijau? Atau juga Chritiano Ronaldo serta Lionel Messi dengan skill mengutak-atik bola yang sangat memukau? Semua pasti mengenal nama-nama itu, baik tua-muda, kaya-miskin, pemerintah-non pemerintah, dunia Barat-dunia Timur, dan sebagainya.
Di Indonesia, sepakbola sudah seperti candu bagi masyarakatnya. Hal itu dapat terlihat bagaimana hasil survey yang dilakukan oleh beberapa klub besar dunia, seperti Manchester United, Juventus, Real Madrid ataupun Barcelona, bahwa salah satu penyumbang suporter terbesar mereka di dunia berasal dari Indonesia. Satu kata yang dapat terucapkan : “Luar Biasa”. Bahkan, pada saat final Piala Dunia 2010, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, mengadakan nonton bareng bersama para menteri kabinet Indonesia bersatu jilid II serta tokoh-tokoh elite pemerintah lainnya. Alhasil, selesai nonton bareng final Piala Dunia 2010, keesokan harinya pada saat rapat kabinet, hampir seluruh peserta rapat terlihat terkantuk-kantuk, seperti yang diinformasikan dari media cetak dan elektronik.
Dari hal di atas, saya ingin mengajak kita semua merefleksikan dari sisi yang berbeda. Ada hal yang tidak pernah terbayangkan kita bahwa sepakbola itu tidak membeda-bedakan agama. Tidak pernah kita tahu bahwa jikalau ingin menjadi fans dari klub Manchester United, kita harus beragama X, sedangkan yang beragama Y harus menjadi fans klub Jubilio Iwata. Tidak pernah karena hal tersebut adalah kekonyolan! Dalam organisasi sepakbola internasional, FIFA, mengeluarkan fatwa bahwa sepakbola itu FAIR PLAY dan NO RACISM dan wajib hukumnya. Artinya, organisasi sepakbola di seluruh negara, harus menciptakan situasi fair play dan menjauhi sikap racismme yang sangat menghancurkan wajah sepakbola. Pasalnya, sepakbola itu adalah ibarat wadah universal yang dapat dinikmati oleh siapa pun manusianya.
Filosofi dunia sepakbola yang begitu humanis, seharusnya dapat diterapkan dalam kehidupan beragama. Agama apa pun harus bertindak fair play dan no racism, agar umat yang berada di dalamnya dapat menghayati persekutuannya dengan Sang Khalik, serta menciptakan agen-agen perdamaian bagi dunia. Apa maksudnya fair play dan no racism? Marilah kita lihat bersama.
A. Agama bertindak Fair Play :
Tidak ada agama apa pun di dunia ini yang tidak mengajarkan kebaikan. Pasti semua agama mengajarkan bagaimana mendatangkan kebaikan, agar kehidupan umat di dunia menjadi berkualitas dan pada akhirnya dapat bertemu dengan Sang Khalik dalam suasana yang sejahtera pula. Akan tetapi, ada unsur yang membuat agama menjadi tidak fair play. Hal ini ibarat seperti di dunia sepakbola, yaitu ketika sebuah tim merasa tertekan di lapangan, mereka dituntut untuk memenangkan pertandingan dengan cara apa pun, bahkan kecurangan pun sah-sah saja dijadikan solusi. Yang bertanggungjawab atas tindakan itu adalah pelatih dari tim itu, karena seorang pelatih yang mengatur jalannya pertandingan sebuah tim. Begitu pula dalam agama. Setiap agama merasa mereka akan tertekan apabila secara kuantitas, umat mereka kalah jumlah dibanding agama tetangga. Alhasil, ada beberapa elemen di dalam agama yang menganggap hal ini sebagai suatu persaingan. Dampaknya, penyebaran agama secara tidak sehat terjadi, seperti : saling tuding kejelekan agama lain, ajaran-ajaran radikal disisipkan, misi meng-agama-kan suatu etnis atau masyarakat tertentu dipaksakan. Jelas hal ini merupakan suatu hal yang tidak fair play, karena dapat menciptakan pemikiran yang radikal. Yang paling bertanggungjawab atas tindakan yang tidak fair play ini adalah para pemuka agama. Seorang pemuka agama apa pun, harus dapat meyakinkan umatnya, bahwa kuantitas pemeluk agama bukanlah hal yang penting dalam agama. Hal yang terpenting dalam beragama adalah kualitas yang dihasilkan manusia itu setelah dia beragama. Hal inilah yang kurang diperhatikan oleh para pemuka agama di seluruh dunia.
Lantas, bagaimana solusi untuk hal ini? Tidak ada cara lain, bahwa setiap pemuka agama di seluruh dunia harus memahami apa arti nilai kemanusiaan. Agama bukanlah hanya menyangkut tentang dunia akhirat saja, tetapi dunia saat ini juga harus diperhatikan. Perdamaian harus dikedepankan agar tercipta dunia yang lebih baik serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dapat didorong dalam bidang pendidikan mengenai antropologi, sosiologi maupun politik, karena mobilitas agama digerakkan oleh ketiga elemen tersebut.
B. Agama harus bertindak No Racism
Maksudnya no racism adalah setiap agama harus bersikap terbuka terhadap perbedaan yang ada. Pengertian terbuka di sini adalah bagaimana suatu agama dapat menghargai perbedaan ajaran dan doktrin yang ada pada agama lain. Harus dipahami bahwa perbedaan bukanlah suatu hal yang menakutkan, akan tetapi perbedaan lebih kepada suatu unsur yang menjadikan kehidupan lebih indah lagi, ibarat bunga yang berwarna-warni di suatu taman. Esensi lain dari no racism ini adalah bagaimana suatu agama dapat menerima hal yang berbeda tersebut dengan asumsi bahwa apapun agama dari manusia itu, dia tetap sebagai manusia ciptaan Tuhan yang harus dikasihi dan dihormati. Perang yang dilandasi sentimen keagamaan, biasanya kurang memperhatikan nilai kemanusiaan. Mereka beranggapan bahwa orang yang berbeda agama itu adalah berasal dari si jahat, oleh karena itu agama yang mereka anut merupakan agama yang paling benar dan yang harus diikutin.
Solusi untuk mengatasi persoalan ini adalah dengan cara meningkatkan intensitas dialog antar umat beragama. Hal penting yang harus diperhatikan dari dialog ini adalah tidak hanya sekedar sebagai ucapan manis di bibir semata, melainkan dari ketulusan hati yang mendalam guna menciptakan perdamaian. Dengan demikian, tidak akan ada lagi pembeda-bedaan dari seluruh agama di seluruh dunia.
Untuk membangun suatu peradaban yang baik dibutuhkan perdamaian dari masyarakatnya. Masalah agama kerap menjadi ancaman bagi perdamaian dunia, sehingga dunia kita menjadi dunia yang penuh kekerasan, ledakan emosi dan pikiran sadis. Untuk itu, setiap agama harus dapat menjelma menjadi sepakbola yang dapat dinikmati oleh siapa saja dan menjadi hiburan serta penguatan bagi semua manusia. Agama apa pun tidak akan pernah mengajarkan permusuhan, karena tujuan beragama itu adalah menciptakan kehidupan yang lebih baik. Perdamaian merupakan kunci hakiki dari kehidupan yang lebih baik. Menurut Hans Kung : “TIdak akan ada perdamaian di dunia jikalau tidak ada perdamaian agama”. Untuk itu, marilah kita berdamai dengan diri kita sendiri dan dengan orang lain. Mari kita beragama dengan menjujung tinggi fair play dan no racism.
Langganan:
Postingan (Atom)