(1 Korintus 1:10-18)
Khotbah di GKPI JK.Marantha-Cengkareng, Minggu-III Set.Epiphanias, 22 Januari 2023
Bapak, Ibu, Jemaat
yang dikasihi Tuhan kita Yesus Kristus!
Suatu kali ketika
hendak menghadiri acara keluarga di Depok, saya dan istri berdiskusi alot
tentang jalan mana yang harus dilewati. Apakah dari toll Pancoran keluar
berbelok menuju Pasar Minggu? Atau, terus melalui toll Cijago
(Cinere-Jagorawi)? Saya memilih untuk melalui Pasar Minggu. Dan, istri tetap
menyarankan melalui toll Cijago. Alasan saya pada saat itu adalah terkadang
toll Cijago bisa mendadak macet dan sulit bergerak. Namun, hati kecil saya terbesit
alasan bahwa dulunya jalan itu menjadi tempat saya berkendara sehari-hari
ketika bekerja sambil kuliah menuju Depok. Sedangkan, alasan istri saya adalah
jarak tempuh dan waktu yang lebih singkat ketika melihat estimasi di Google
Map. Saya mengambil keputusan untuk melewati Pasar Minggu, menyusuri Kalibata-Volvo-Tj.Barat-Lenteng
Agung-Margonda. Sepanjang jalan, sudah dapat dipastikan kalau akan terjadi
perdebatan. “Coba kalau lewat toll sudah sampai kita!”. “Ternyata, lebih
macet keluar toll”, dll. Saya tetap rileks karena bagi saya lewat jalan mana
pun, hasil akhirnya tetap menuju ke Depok.
Dari perdebatan jalan
menuju Depok, saya mulai merenungkan bahwa manusia sering memperdebatkan
sesuatu yang tujuannya sama. Dalam hal ketertarikan politik, kita bisa saling
gontok-gontokkan, sekalipun calon yang diusung sama-sama punya visi memajukan
kesejahteraan bangsa. Dalam hal adat/budaya, kita sering saling menyerang
kebiasaan yang dilakukan, padahal kita sama-sama ingin nilai adat berjalan
dengan baik. Termasuk, dalam hal iman kepada Tuhan, secara khusus umat Kristen,
kita sering berkonflik ajaran gereja masing-masing, bahkan bertaruh nyawa,
padahal kita sama-sama berdoa dan beriman kepada Tuhan Yesus Kristus.
Bapak, Ibu, Jemaat
yang terkasih!
Firman Tuhan saat ini
menyoroti tentang nasehat Paulus pada jemaat di Korintus untuk tidak
terpecah-pecah. Secara sosiologis, konteks jemaat Kristen di Korintus sudah
sangat berbeban berat oleh tekanan eksternal, yaitu kolonialisme Roma. Paulus
tidak ingin umat Kristen semakin menderita karena perpecahan yang terjadi di lingkaran
internal mereka sendiri. Paulus setuju ketika di tengah masa sulit kehidupan,
yang diperlukan sesungguhnya adalah seia-sekata, sehati-sepikir, dan erat
bersatu (ay.10).
Paulus mengangkat satu
isu bukan karena gossip atau kabar yang tidak jelas. Ia menyebut
sumbernya darimana informasi itu didapatkannya, yaitu orang-orang dari keluarga
Kloe (ay.11). Siapakah orang-orang dari keluarga Kloe itu? Sepertinya, mereka
merupakan orang yang baru bertobat. Dari etimologi nama Kloe merujuk pada
seorang ilah mitologi Yunani, yaitu dewi pertanian, anak dari Kronos dan Rhea.
Sering disebut juga dengan Demeter. Jika itu benar, maka Kloe merupakan
perempuan generasi pertama yang menjadi pengikut Kristus dan menjadi tangan
kanan Paulus dalam pemberitaan Injil di kota Korintus. Wajar bila keturunannya
pun menjadi informan terpercaya oleh Paulus. Mereka membisikkan pada Paulus
kalau perpecahan itu ditenggarai oleh adanya klaim berkubu-kubu, yaitu golongan
Paulus, golongan Apolos, golongan Kefas, dan golongan Kristus (ay.12).
Terbagi-baginya kubu
dalam pemberitaan Kristus sepertinya sangat besar dipengaruhi oleh pembawaan
masing-masing style pemberita Injil itu. Seperti Apolos misalnya, ia
seorang Yahudi yang percaya bahwa Yesus adalah Mesias. Ia berhasil menghimpun
banyak orang percaya kepada Kristus adalah Mesias oleh karena kefasihan dalam
berbicara, secara khusus penjabaran kitab suci yang membuktikan Kemesiasan
Yesus (bnd.Kis.18:24). Wajar bila ada sumber yang menyebutkan pengikut Apolos
lebih banyak daripada Paulus, karena Paulus sendiri seorang yang kurang mampu
menjelaskan sebaik Apolos. Itu diakui oleh Paulus, “Tetapi aku tidak mau
kelihatan seolah-olah aku menakut-nakuti kamu dengan surat-suratku. Sebab, kata
orang, surat-suratnya memang tegas dan keras, tetapi bila berhadapan muka
sikapnya lemah dan perkataan-perkataannya tidak berarti” (2Kor.10:9-10).
Akan tetapi, kelebihan Paulus ada pada ajarannya. “Jikalau aku kurang paham
dalam hal berkata-kata, tidaklah
demikian dalam hal pengetahuan; sebab kami telah menyatakannya kepada kamu pada
segala waktu dan di dalam segala hal” (2Kor.11:6). Ajaran Paulus sangat
lengkap tentang Yesus Kristus, yaitu sampai pada kematian dan kebangkitan-Nya.
Sedangkan, Apolos hanya menguasai ajaran dari Yohanes Pembaptis, yaitu
persiapan jalan akan kedatangan Yesus Kristus (bnd.Kis.18:25).
Kemudian, perbedaan
Kefas/Petrus dengan Paulus ada pada soal pendekatan. Paulus memiliki temperamen
yang tinggi dan tidak bisa berkompromi dengan sesuatu yang bertentangan pada
ideologisnya. Paulus tidak segan untuk berkonfrontasi dengan para Rasul,
seperti Petrus. Sebab, ia menilai dirinya tidak kurang dari para murid Yesus. “Tetapi
menurut pendapatku sedikitpun aku tidak kurang dari pada rasul-rasul yang tak
ada taranya itu” (2Kor.11:5). Puncaknya, Paulus tanpa basa-basi menegur
Petrus dengan keras.
Galatia
2:11-14
2:11 Tetapi waktu
Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah.
2:12 Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus datang, ia makan
sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka
datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan
saudara-saudara yang bersunat. 2:13 Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut
berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh
kemunafikan mereka. 2:14 Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak
sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di hadapan mereka
semua: "Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara
Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat
untuk hidup secara Yahudi? "
Dari teguran keras
Paulus itu, kita dapat melihat kalau Petrus sesungguhnya model pelayan yang
tidak suka berkonfrontasi dan suka “bermain aman” dari kaum sebangsanya. Petrus
seorang pewarta Injil yang masih menjaga nilai adat/budaya. Sedangkan, Paulus
melihat mereka yang masih bermain “dua kaki” itu tidak sesuai dengan Kebenaran
Injil. Harus ada ketegasan agar tidak terjebak pada kemunafikan diri.
Untuk "Golongan
Kristus" ini barangkali terdiri atas guru-guru palsu yang memusuhi rasul
Paulus (1Kor 4:18-19) dan mengaku bahwa mereka memiliki kerohanian dan
"hikmat" yang lebih unggul. Mereka percaya bahwa pengetahuan mereka
(1Kor 8:1) membebaskan mereka dari pengekangan hukum (1Kor 6:12; 10:23) dan
dari tuntutan moral (1Kor 5:2). Mereka sedang berupaya untuk merebut jemaat
kepada Injil mereka yang menyimpang itu (2Kor 11:4,20-21). Pada dasarnya Paulus
menentang mereka dan pengikut mereka di Korintus.
Dari keempat gambaran
kubu yang ada di jemaat Korintus itu, kita dapat membuatkan peta sederhana,
yaitu:
a. Paulus adalah
pelayan Kristus yang mementingkan berita Injil yaitu Kristus yang bangkit
mengalahkan kematian di kayu salib demi orang berdosa (Berita Salib)
b. Apolos adalah
pelayan Kristus yang mementingkan berita kehadiran Mesias yang telah digenapiberdasarkan kitab suci (Berita Penggenapan Mesias)
c. Petrus/Kefas
adalah pelayan Kristus yang masih menjaga nilai adat-istiadat dalam pemberitaan
Injil
d. Golongan
Kristus adalah pelayan Kristus yang mementing hikmat moral dalam keselamatan
Injil
Sebagai orang yang
terlibat dalam pengkubuan tersebut, teks firman Tuhan pada kita saat ini
memberikan sikap Paulus atas kondisi tersebut:
a. Kristus yang
dilayani tetap sama, tidak pernah terbagi (ay.13)
b. Paulus mengakui
bahwa ia pernah melakukan baptisan, tapi tujuan pekerjaan pelayanannya bukan
untuk membaptis, tapi memberitakan Injil (ay.14-16)
c. Injil yang
dimaksud Paulus adalah Pemberitaan Salib di mana Yesus telah menyerahkan
diri-Nya menjadi kurban tebusan agar manusia berdosa yang percaya diselamatkan
(ay.17-18).
Pemberitaan Injil yang
berpusat pada salib memang menjadi sesuatu yang baru dan cenderung aneh rada
bodoh pada saat itu. Bagaimana mungkin, Paulus menggunakan “kayu salib” sebagai
model berteologinya. Sebab, salib itu berkonotasi negatif, tempat penghukuman
bagi terpidana mati yang kejahatannya sangat luar biasa. Sedangkan, Mesias yang
diberitakan itu harusnya sesuai kitab suci yang gagah perkasa, memimpin pasukan
perang, mengangkat pedang mengalahkan musuh, dan kekuatan militer lainnya.
Namun, Yesus yang didaulat sebagai Mesias malah diberitakan berdasarkan salib
yang lusuh dan hina. Banyak tentu pihak yang ingin Paulus meralat ajarannya.
Bahkan, oleh bangsal Romawi, ajaran salib ini dijadikan bully yang tak
habisnya. Ada satu grafiti kuno di diding ruangan dekat Palatine Hill di Roma
yang terkenal dengan sebutan ALEXAMENOS GRAFITTO/ GRAFITTO BLASFEMO. Diduga
dilakukan seorang Roma-Yunani untuk mengejek Alexamenos yang percaya kepada
Kristus. Dalam grafiti itu, Alexamenos sedang menyembah seorang berkepala
keledai yang tergantung di kayu salib. Karenanya, seorang ahli retorika Roma
bernama Marcus Fronto, menjelaskan bahwa ketika orang Kristen menyembah Dia
yang tersalib di tempat penghukuman yang hina itu, mereka sesungguhnya
orang-orang bodoh yang mudah ditipu.
Hal menarik memang ketika olok-olokkan terhadap berita salib itu tidak mengubah
dasar beriman Paulus, bahwa salib yang hina menjadi salib yang mulia oleh
karena Kristus ada di sana. Tidak ada yang dapat menyelamatkan orang yang
tergantung di sana oleh kuasa hukuman pemerintah Roma. Namun, Yesus Kristus
akhirnya menaklukkan kuasa penghukuman salib pemerintah Roma dengan kekuatan Allah
yang menyelamatkan. Kebangkitan-Nya menjadi puncak dari pemberitaan Injil
melalui jalan salib yang mulia.
Bapak, Ibu, dan Jemaat
yang terkasih di dalam Tuhan kita Yesus Kristus!
Setidaknya dari
pembahasan yang telah kita lakukan sejauh ini, ada dua hal yang dapat kita
refleksikan untuk diaplikasikan di tengah kehidupan beriman sehari-hari, yaitu:
a. Untuk mengenal
kekuatan Allah yang menyelamatkan, kita harus mengenal Yesus yang datang itu
dengan lengkap.
Dari Paulus, kita menerima pemahaman bahwa pencurahan darah Kristus di
kayu salib menjadi puncak kasih Allah yang telah menyerahkan Yesus Kristus
sebagai Anak Domba Allah. Kemesiasan Yesus itu terurai dengan sempurna ketika
kehadiran Yesus di tengah dunia tidak dengan menggunakan label militer dengan
peperangan secara dunia. Tetapi, penyelamatan Mesias dilakukan dengan cara yang
mencirikan kasih Allah, ditandai dengan penolakkan terhadap sikap
represif/kekerasan di tengah dunia. Kekuatan Allah bekerja melampaui kekuatan
manusia, sehingga Allah tidak menggunakan cara dunia untuk menyelamatkan
umat-Nya
b. Kuasa Allah
yang menyelamatkan dinyatakan pada berita tentang salib yang dianggap bodoh
oleh dunia
Tidak ada
yang dapat mengalahkan kematian selain Tuhan Yesus Kristus. Salib tempat
penghukuman mati, diubah menjadi berita kebangkitan. Kekuatan Tuhan mengubahkan
salib hina menjadi mulia. Demikian juga kekuatan Allah dapat bekerja dalam diri
umat-Nya yang percaya. Kekuatan-Nya akan mengubahkan dukacita kita menjadi
sukacita, ketakutan kita menjadi pengharapan yang menenangkan.