Renungan Minggu, 9 Oktober 2016
Media massa di Indonesia saat ini sedang dihebohkan
berita dari Probolinggo-Jawa Timur. Berita itu juga telah menjadi bahan pembicaraan masyarakat di
Siantar-Simalungun. Adalah Dimas Kanjeng Taat Pribadi (DKTP), seorang pria yang
diteladani menjadi guru spiritual, dan dianggap memiliki kekuatan sakti untuk
mendatangkan uang, sepeda motor, pulsa, bahkan garam pun disebut bisa disulap
menjadi permata. Namun, DKTP dilaporkan oleh pengikutnya sendiri yang merasa
telah ditipu dengan kerugian materi yang sangat besar. Saat ini, DTKP sendiri
sudah dijadikan Bareskrim Polri sebagai tersangka kasus penipuan yang jumlahnya
mencapai miliaran rupiah. Menariknya, korban dari penipuan DKTP ini tidak hanya
dari kalangan bawah saja, tetapi juga dari kalangan elite dan terpelajar.
Belakangan, ada muncul kabar yang mengatakan bahwa kemungkinan kasus penipuan
ini melebar sampai kasus pembunuhan. Melihat daya ledak kasus ini yang sanggup menjangkau
pembicaraan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, kita dapat memahami bahwa persoalan
yang terjadi di Probolinggo-Jawa Timur itu adalah persoalan yang relevan dengan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Persoalan warga Probolinggo-Jawa Timur yang
menjadi korban penipuan DKTP ini tidak lain karena ada harapan dari mereka
untuk meraup keuntungan materi yang besar tetapi didapatkan dengan cepat dan
mudah. Begitu pula sebagian masyarakat di Indonesia, pasti banyak yang tergiur
untuk mendapatkan keuntungan materi yang besar dengan cara cepat dan mudah,
sekalipun itu sangat irasional (tidak logis). Memang, hasrat manusia untuk
hidup senang membuat manusia menjadi sangat tidak logis. Kasus penipuan yang
dilakukan DKTP ini bukanlah kasus baru yang terjadi di Indonesia. Namun,
mengapa kasus serupa terus berulang terjadi? Apakah karena tingkat
kesejahteraan manusia di Indonesia yang rendah? Sehingga, mereka ingin segera
sejahtera tanpa harus bersusah payah untuk bekerja dan memenuhi kebutuhannya? Rasanya
tidak juga, karena apabila kita perhatikan data dari UNDP tahun 2015, IPM
(Indeks Pembangunan Manusia) di Indonesia terus mengalami kemajuan. IPM
Indonesia dari data itu menempati posisi 110 dari 187 negara dengan nilai
indeks 0,68. IPM sendiri menjadi barometer yang penting dalam mengukur
kesejahteraan suatu bangsa karena menjelaskan bagaimana penduduk dapat
mengakses hasil pembanganunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan,
pendidikan, dsb. Jika penyebab banyaknya korban penipuan di Indonesia bukanlah
karena persoalan kesejahteraan, lantas apa soal di balik banyaknya masyarakat
Indonesia menjadi korban penipuan yang irasional sekalipun seperti yang terjadi
pada kasus DKTP? Dalam analisa saya, penyebab utamanya adalah keinginan manusia
untuk hidup senang yang tak ada batasnya. Terkadang, keinginan manusia yang tak
terbatas itu membuat mereka menjadi sangat tidak rasional. Hal ini juga
ditegaskan oleh Sigmud Freud yang mengatakan bahwa manusia bisa menjadi sangat
tidak rasional karena tidak dapat mengendalikan “Id”-nya. Menurut Freud, “Id”
merupakan energi-energi psikis manusia yang dapat memberi dasar kehidupan dan
di satu sisi hadir sebagai ciri yang merusak. Agar “Id” yang berisikan
keinginan tak terbatas manusia itu tidak sampai merusak, ia harus diatur oleh
“ego” sehingga dapat menyaring realitas yang ada. Lalu, hasil yang disaring
oleh “ego” itu diputuskan menjadi suatu tindakan atau milik seseorang melalui
“superego”. Dalam konteks sosial, “superego” merupakan introjeksi norma
eksternal, yang bisa juga dipengaruhi oleh keyakinan pada norma agama. Bisa
dipahami mengapa DKTP mampu membuat orang dari kelas atas termasuk mereka yang
berpendidikan menjadi tertipu tidak lain disebabkan bahwa DKTP menggunakan kedok
agama untuk memengaruhi psikologis korbannya menjadi tidak logis (irasional).
Lantas, sebagai umat Kristen, bagaimana cara kita mengantisipasi hal ini
sehingga kita tidak terhisap ke dalam lingkaran kejahatan penipuan serupa?
Firman Tuhan saat ini memberikan kita satu pengajaran moral
akan apa itu keuntungan? Bila kita membaca surat kedua Paulus pada Timotius, di
sana kita menemukan Paulus memberikan pengembalaan pada Timotius agar hidup di
dalam iman percayanya pada Kristus, seperti yang sudah sudah ada sejak dari
generasi neneknya –Lois- dan ibunya –Eunike- (2.Tim.1:5). Dalam hidup percaya
pada Kristus, ada hal yang harus dihadapi, di antaranya adalah tantangan untuk
menyaksikan kabar baik tentang kebenaran Kristus tanpa malu (2.Tim.2:15).
Tantangan itu tidak mudah karena seperti Paulus yang sudah lebih dahulu
melakukannya, ia menghadapi berbagai penderitaan dunia di antaranya menderita
penghukuman (2.Tim.1:8+12 & 2.Tim.2:9). Timotius sebagai seorang percaya
yang sangat diharapkan Paulus untuk menjadi pemberita tentang Kristus juga
diminta untuk memiliki kekuatan di dalam imannya sehingga bisa saksi Kristus di
dunia melanjutkan tugas Paulus. Penderitaan yang dialami Paulus dan yang akan
dirasakan oleh Timotius nantinya adalah hal yang wajar. Paulus menggambarkannya
seperti tahapan penderitaan seorang prajurit yang tidak memusingkan dirinya
dengan kehidupannya sehingga berkenan pada komandannya (2.Tim.2:4), juga
seperti penderitaan ketekunan olahragawan dalam berlatih dan mengikuti
peraturan perlombaan sampai ia mendapatkan mahkota juara (2.Tim.2:5), dan
seperti penderitaan seorang petani yang bekerja keras untuk dapat menikmati
hasil usahanya (2.Tim.2:6). Untuk itu, Paulus mengajak Timotius untuk tidak
takut menderita karena hal itu hanya bagian dari tahapan menuju keselamatan. Malahan,
Timotius diminta semakin teguh bersaksi bahwa “Yesus telah bangkit dari orang
mati dan lahir sebagai keturunan Daud”. Frasa ini merupakan satu rumusan
teologis baru dari Paulus pada saat itu untuk menegaskan bahwa Yesus adalah
Mesias yang dijanjikan sejak zaman Perjanjian Lama itu. Namun, tidak semua
orang dapat menerima rumusan teologis yang baru itu, sehingga ia dibelenggu karena
menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat Yahudi dan dianggap sebagai
provokator (2.Tim.2:9). Paulus menyaksikan pada Timotius bahwa ia tidak
menyesali sama sekali tindakannya itu karena Paulus memiliki kepercayaan bahwa “siapa
yang mati untuk Kristus akan mati bersama dengan Kristus, dan siapa yang
bertekun dalam iman akan memerintah bersama dengan Kristus” (2.Tim.2:10-12). Paulus
juga meyakini bahwa Kristus itu setia sebagaimana Tuhan Allah yang sejak zaman
purbakala setia adanya sekalipun nenek moyang Yahudi berulangkali bersikap
tidak setia kepada-Nya (2.Tim.2:13). Oleh karenanya, tiap orang percaya,
termasuk Timotius, dituntut daripadanya untuk bersungguh-sungguh di dalam
kesaksian imannya dan berusaha untuk layak di hadapan Allah (2.Tim.2:14-15).
Dari pengembalaan yang dilakukan oleh Paulus pada
Timotius dalam nas minggu ini, kita memperoleh satu gambaran bahwa penderitaan
adalah bagian tahapan dalam iman Kristen. Tekanan hidup –sebagai suatu
penderitaan- yang dirasakan umat Kristen masa kini ternyata bukanlah tujuan
akhir. Tetapi, jika kita meminjam istilah yang dipakai Rostow, penderitaan itu
adalah tahapan lepas landas menuju kehidupan bersama Kristus di dalam
keselamatan kita. Harta dunia tentu tidak akan kita bawa mati. Sebanyak apapun
kita kumpulkan di dunia ini, kita tidak bisa membeli keselamatan itu dengan
nilai kekayaan yang kita miliki. Dengan demikian, tugas seorang Kristen adalah
memberi kesaksian akan “Yesus adalah Juruselamat (Mesias)” pada seluruh dunia
yang tengah dihinggapi kuasa keserakahan. Banyaknya manusia yang serakah
membuat kehidupan di dunia ini semakin rusak. Yang kaya ingin kaya. Yang miskin
ingin segera kaya bagaimana pun caranya. Keinginan memperkaya diri dengan
segera adalah ciri keserakahan. Mengapa? Karena, tuhan mereka adalah mamon. Mereka
menganggap bahwa harta dunia itu bisa menolong dan membuat aman kehidupan
mereka. Padahal, pakar psikologi sekaliber Freud mengatakan keserakahan yang
ada dalam “Id” manusia itu adalah hal yang merusak. Hal itu nyata terjadi
seperti yang ada dalam kasus DKTP di mana terjadi kerugian akibat keserakahan
bahkan ada indikasi terjadinya pembunuhan. Untuk itu, umat Kristen melalui nas
saat ini diminta untuk tidak terjebak dalam sikap serakah, sehingga melakukan
hal yang irasional seperti warga di Probolinggo. Malahan, umat Kristen
dipanggil untuk memberitakan Kristus yang telah mati dan bangkit itu supaya
bila kita mati kita mati dengan Dia, dan bila kita hidup kita pun akan hidup
dengan Dia. Mati dan hidup bersama Kristus itulah menjadi keuntungan sejati
bagi umat Kristen. Mengapa? Sebab seperti yang disampaikan oleh Martin Luther, dengan
kita mati bersama Kristus, kita boleh memaknai bagaimana pengorbanan “Tuhan
yang menyerahkan diri-Nya”. Kita dapat juga memahami bagaimana Allah memberi
diri-Nya sendiri pada kita dan segala makhluk ciptaan-Nya, dan Dia mencurahkan
pemberian-Nya yang tidak ternilai yang bertahan selamanya. Lebih dari itu, Dia
menderita, mati, dan dikuburkan untuk melunaskan dosa kita –bukan dengan uang,
melainkan dengan darah-Nya sendiri yang mulia. Sehingga, kita tidak menyia-nyiakan kehidupan
ini dengan pengharapan yang sia-sia, dan dengan kesenangan yang sia-sia. Hidup
yang kita serahkan sepenuhnya kepada Kristus akan memadamkan roh keserahkahan
yang membawa kita pada kehidupan yang sia-sia dan kematian selamanya.