Sumber : kaskus.co.id |
Ibu,
Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus, Sang Kepala Gereja!
Suatu
kali ketika sedang membaca kumpulan tesis sebagai bahan pembanding penelitian
tesis saya di perpustakaan kampus, saya tidak menyadari kalau dompet saya terjatuh
di ruang baca. Hal itu baru saya sadari setelah berada di meja lobby tesis perpustakaan, ketika saya hendak
mengembalikan tesis yang sudah dibaca. Aturan di perpustakaan UI pada saat
itu, baik hendak meminjam ataupun mengembalikan tesis yang digunakan, saya harus
menunjukkan kartu mahasiswa saya agar kartu perpustakaan dapat dikembalikan. Saya sangat
panik ketika tidak menemukan dompet di saku celana saya di mana kartu mahasiswa
saya tersimpan. Saya kemudian berlari untuk mencari dompet yang
jatuh itu di sekitar tempat saya membaca tadi. Namun, saya tidak kunjung menemukan dompet itu. Akhirnya,
saya kembali turun ke meja lobby tesis perpustakaan untuk meminta pengertian para petugas di sana. Seorang bapak, yang rambutnya
telah berwarna putih, sambil tersenyum tenang berkata pada saya, “Coba dicari
sekali lagi, jangan buru-buru, mas”. Sontak pada saat itu saya menjadi kesal dan
berkata, “Apakah Bapak tidak bisa mengerti bahwa dompet saya hilang? Saya sudah
mencarinya tetapi tidak menemukannya di tempat saya membaca tadi”. Bapak itu pun menemani saya pergi ke ruang baca untuk membantu
mencari dompet saya yang hilang. Di luar dugaan memang, saya melihat dompet
saya ada di celah-celah kursi tempat saya membaca tadi. Saya yakin tadinya dompet itu tidak ada di sana. Saya sangat malu dengan bapak tua, petuga perpustakaan, yang menemani saya mencari
dompet saya yang hilang. Saya sempat tidak memercayai omongannya. Namun, saya
berpikir rasa bahagia saya menemukan kembali dompet yang hilang itu jauh lebih besar
dari rasa malu yang saya rasakan. Sesampai di kamar kos, sebelum tidur malam, saya
merenungkan peristiwa ini kembali. Saya menganggap ketika dompet saya yang
sempat tercecer entah di mana itu balik kembali pada saya itu sebagai mujkizat.
Dan, darinya, saya belajar bahwa mukjizat itu diawali dari bagaimana usaha kita
yang tidak pernah berakhir untuk keluar dari permasalahan yang kita pikir sudah
tidak ada jalan keluar. Kalau saya tidak mendengarkan saran dari bapak petugas
perpustakaan itu, mungkin saya tidak akan pernah menemukan kembali dompet saya.
Atau dengan kata lain, kalau saya menyerah pada saat itu, maka mukjizat itu
tidak akan terjadi pada saya.
Ibu,
Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Saya
rasa pengalaman yang saya bagikan itu dapat menjadi awal bagi kita dalam
memerhatikan nas firman Tuhan pada saat ini, khususnya dalam menyoroti mukjizat
yang terjadi. Peristiwa besar dalam cerita ini terjadi diawali dari seorang yang datang dari
tempat Salisa untuk membawa dua puluh roti jelai serta gandum baru dari sebuah
kantong kepada Elisa, yang mungkin pada saat itu sedang mengajar di hadapan
ratusan orang. Elisa mendapatkan kiriman makanan itu mungkin karena ia dianggap sebagai
abdi Allah (ay.42). Bisa jadi, konteks Elisa pada saat itu tidak jauh berbeda
dengan kondisi jemaat mula-mula di mana orang yang dianggap abdi Allah, hidup
dari para umat percaya. Ketika Elisa meminta orang yang mengantarkan roti jelai
dan gandum padanya untuk membagikan pada ratusan orang yang ada di hadapannya,
bisa jadi pelayan itu menggerutu dalam hatinya. Alih-alih berterima kasih, malah Elisa merepotkannya lagi dengan memintanya agar membagikan roti jelai dan gandum yang diantarkannya itu
pada ratusan orang yang hadir. Bisa dimaklumi memang jika pelayan itu pada akhirnya setengah hati menanggapi permintaan dari Elisa. Karena, bagaimana mungkin jumlah makanan yang sedikit itu
dibagi pada banyak orang? Bisa-bisa malah terjadi kekacauan karena ketidakadilan
dalam pembagian mengingat banyaknya orang. Jelas apa yang disuruhkan oleh
Elisa itu sangat tidak mungkin hal itu dapat
dikerjakan. Sehingga, dengan sedikit nada menolak, ia berkata “bagaimanakah aku
dapat menghidangkan ini depan seratus orang?” (ay.43). Tetapi, agaknya Elisa
kukuh meminta agar roti jelai dan gandum itu dibagikan. Elisa merujuk pada
penyertaan Tuhan pada Israel ketika keluar dari tanah Mesir di mana Tuhan
memberikan mereka makan semuanya (ay.43; band.Bil.11). Dan memang benar, ketika
pelayan itu menghidangkan makanan itu, ada sisa makanan seperti firman Tuhan
yang disampaikan oleh Elisa sebenarnya (ay.44). Tentu, mukjizat roti jelai dan
gandum yang sisa itu tidak akan terjadi jika pelayan itu tidak menuruti
perkataan Elisa.
Ibu,
Bapak, Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Hal berikutnya yang perlu kita perhatikan dari nas firman Tuhan pada saat ini adalah bagaimana "persembahan" kecil dari orang Salisa itu bisa berdampak besar bagi banyak orang. Seperti pelayan yang datang dari Salisa itu membawa sesuatu pada Elisa (abdi Allah), begitu
pula kita datang ke gereja pada saat inimemberikan persembahan kepada
Tuhan melalui “pelayan”-Nya. Tentu membawakan persembahan saja tidak cukup,
karena kita harus yakin apakah persembahan kita itu akan mendatangkan berkat
bagi banyak orang? Karenanya, kita yang membawa persembahan itu harus diuji terlebih dahulu, apakah kita yakin bahwa
benar mendatangkan berkat bagi banyak orang? Mungkin kita seperti pelayan dari Salisa yang sempat ragu. Tetapi, pada akhirnya, kita juga dapat memercayai dan meyakini kuasa Tuhan seperti apa yang telah disaksikan oleh pelayan dari Salisa itu bahwa kuasa Tuhan bekerja atas kepedulian kecil kita pada Tuhan dan sesama. Tuhan tentu tidak akan mungkin memakai Elisa mengadakan mukjizat memberi makan
ratusan orang tanpa diawali adanya kepedulian orang Salisa itu yang mempersembahan roti jelai dan gandum, sekalipun
itu kecil nilainya. Dari hal ini, kita dapat memahami bahwa mukjizat itu tidak
hanya menyangkut upaya yang tak pernah berhenti saja, tetapi juga adanya kepedulian, sekecil apapun itu yang bisa kita persembahkan.
Ibu,
Bapak, Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Jika
kita mengelaborasi kisah mukjizat yang dilakukan Elisa ini dengan cerita
mukjizat yang dilakukan Yesus, maka kita akan menemukan pola-pola yang mirip di
antara keduanya. Baik Yesus dan Elisa sama-sama menghidupkan orang yang telah
meninggal, menyembuhkan penyakit, dan seperti yang kita bahas pada saat ini “memberi
makan banyak orang”. Terkait dengan memberi makan banyak orang, kita menemukan
hal yang tidak jauh berbeda terjadi di antara keduanya. Diawali dari banyaknya
orang yang mengikuti, disusul adanya keinginan dari keduanya untuk memberi
makan banyak orang. Kemudian, ada orang terdekat di antara mereka meragukan
bahwa mereka berdua dapat memberi makan banyak orang. Dan, dalam situasi
terjepit seperti saat itu, ada orang yang memberikan sedikit persembahan pada
mereka berdua sebagai persembahan mereka pada sosok yang mereka kagumi itu. Pada
akhirnya, hasilnya sama, yaitu mukjizat terjadi dan makanannya sisa. Tentu dari
hal ini, pembelajaran yang kita dapatkan berikutnya adalah bahwa ketika kita
memercayai kuasa Tuhan bekerja atas usaha dan persembahan kita, maka Tuhan akan
bertindak untuk memberikan berkat yang berkelimpahan. Inilah hal yang harus
kita aminkan dalam kehidupan beriman kita.
Ibu,
Bapak, dan Jemaat yang diberkati oleh Tuhan!
Dari
sedemikian jauh pembahasan firman Tuhan pada saat ini, kemudian pertanyaan
berikutnya adalah apa yang dapat kita refleksikan dan juga aplikasikan dalam
kehidupan beriman kita? Saya mencatat setidaknya ada tiga hal yang harus kita
refleksikan serta aplikasikan juga, yaitu:
- Mukjizat diawali dari hal yang kecil, yaitu: usaha yang tidak pernah menyerah untuk meyakini kuasa Tuhan akan bekerja dalam menolong kita keluar dari permasalahan yang seolah sudah tiada jalan keluarnya. Dalam hal ini, kita-selaku umat percaya- tentu harus memiliki tingkat ketekunan iman yang luar biasa. Suatu hal yang paralel dengan apa yang dikatakan oleh Paulus, yaitu “permasalahan (kesengsaraan) akan menimbulkan ketekunan, ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan; pada akhirnya, pengharapan tidak akan mengecewakan karena kasih Allah dicurahkan dalam hati kita (Rom.5:3-5)
- Hal kedua, mukjizat terjadi karena ada yang kepedulian kecil sehingga menghasilkan dampak yang besar. Sebagai umat percaya, dalam menyembah Tuhan, kita tentu membawakan persembahan kita kepada Tuhan sebagai kepedulian kita pada Tuhan dan para pelayannya. Hal ini sesuai dengan semangat GKPI di masa kini yaitu sebagai gereja yang menghidupi “penyembahan dan persembahan” pada Tuhan. Persoalannya, apakah kita yakin bahwa kepedulian melalu persembahan kita yang kecil itu dapat berdampak besar bagi banyak orang? Dari firman Tuhan pada saat ini, kita belajar bahwa ketika Tuhan menghendaki maka hal kecil itu bisa berdampak besar. Jelas di sini terlihat soal kerelaan kita berbagi dalam persembahan kita. Karena, sekali lagi, mukjizat tidak akan terjadi tanpa didahului oleh kepedulian yang kecil;
- Terakhir, bagaimana kita dapat memercayai dan meyakini akan kuasa Tuhan dapat memberikan kita berkat lebih dari cukup? Terkadang, ketika permasalahan besar datang menghampiri, kita sering berpikir bahwa hal itu adalah hukuman dari Tuhan. Padahal, Tuhan juga dapat memberikan kita berkat yang berkelimpahan melalui permasalahan besar yang seolah tidak ada jalan keluarnya itu. Saya dapat memahami sampai sejauh itu karena pengalaman iman dari banyak orang yang menyaksikannya. Seperti, kesaksian dari seorang umat percaya bahwa awalnya ketika ia divonis terkena penyakit kanker stadium empat, ia berpikir Tuhan sedang menghukumnya. Namun, ketika ia menjalaninya dengan memercayai dan meyakini kuasa Tuhan, ia dapat melihat berkat Tuhan yang luar biasa dalam hidupnya. Ia bersaksi bahwa kalau ia tidak sakit, maka tidak akan pernah keluarganya berkumpul untuk saling menguatkan; terlebih berdoa bersama. Dan, kalau ia tidak sakit seperti itu, mungkin ia tidak akan pernah tahu betapa ia sangat dicintai oleh banyak orang. Sampai pada akhirnya ia pergi meninggalkan dunia, ia tidak pernah sama sekali mengutuki Tuhan. Bahkan, bagi saudara dan koleganya, kepergiaannya sendiri adalah mukjizat karena ia mampu tidak mengeluh atas menahan rasa sakit yang membuatnya begitu menderita selama ini. Malahan, sakitnya membuat ia semakin semangat menyaksikan bahwa Tuhan adalah baik adanya. Dari hal ini, kita belajar bahwa mukjizat itu tidak harus peristiwa besar terjadi, seperti ia secara fisik harus segera sembuh. Tidak! Malahan, dalam kacamata pastoral, ia secara spiritual sudah sembuh sehingga ia tidak merasakan sakit itu sebagai sakit yang membebankan. Di sinilah letak bagaimana berkat Tuhan begitu melimpah lebih dari cukup ketika kita memercayai dan meyakini kuasa Tuhan. Amin!