Dokumentasi Pribadi : Gereja Resor tempat Sahabat Saya Bertugas
|
Tanggal
8 September 2013, saya mendaratkan kembali kaki saya di kota Medan. Bagi saya, inilah permulaan hidup saya yang baru,
karena saya memutuskan untuk berhenti berkarya di bidang sekuler dan memilih
untuk melanjutkan hidup sebagai seorang teolog yang profesional, yaitu pengerja
gereja. Saya dijadwalkan akan mengikuti tes / ujian masuk vikar (vikar adalah
calon pendeta) pada tanggal 17-19 September 2013 di Pematangsiantar. Mengapa di
Pematangsiantar? Karena kantor pusat dari gereja saya, Gereja Kristen Protestan
Indonesia (GKPI), berada di Pematangsiantar.
Pematangsiantar adalah suatu
kota yang terletak tepat di tengah Kabupaten Simalungun. Masyarakat di sana
mayoritas berlatar belakang budaya Simalungun. Simalungun termasuk bagian dari
Batak, tetapi tradisi dan bahasanya berbeda dengan Batak Toba, Angkola, dan
lainnya. Masyarakat Simalungun mayoritas memeluk agama Kristen, khususnya
Protestan. Gereja yang menopangnya adalah Gereja Kristen Protestan Simalungun
(GKPS).
Salah seorang teman saya baru
saja ditahbiskan menjadi pendeta di GKPS. Saya merasa beruntung ketika selesai
mengikuti tes masuk vikar, saya dapat bertemu dengan teman saya yang telah
menjadi pendeta di GKPS. Nama teman saya adalah Immanuel Christian Sitio.
Selain menjadi teman, dia juga adalah sahabat saya. Kami sama-sama menjadi mahasiswa Fakulas Teologi di
Universitas Kristen Satya Wacana yang berasal dari Medan. Saat di Asrama, kami
pernah menjadi teman sekamar. Banyak perkembangan yang saya temukan dari
sahabat saya ini. Dulunya, dia tidak bisa berbahasa Simalungun dan buta dengan
adat serta budaya Simalungun. Namun saat ini, dia begitu mahir dan sangat
memahami budaya Simalungun. Memang ketika kami lulus dari Salatiga, dia
langsung memutuskan untuk mengikuti seleksi vikar di GKPS, sedangkan saya
memutuskan untuk melanjutkan studi ke Universitas Indonesia. Alhasil, setelah
saya menyelesaikan studi, dia telah ditahbiskan menjadi seorang pendeta.
Menarik mengikuti
pengalamannya menjadi seorang pendeta. Penempatan pertamanya sebagai pendeta
oleh GKPS ditempatkan di pelosok Raya. Sahabat saya ini ditempatkan di salah satu
kampung yang berada di Raya, Pematangsiantar. Dari Pematangsiantar menuju Raya
membutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan darat. Setiba di Raya, untuk
dapat tiba di kampung yang menjadi medan pelayanannya, harus ditempuh sekitar
30 menit. Saya dibonceng olehnya menggunakan sepeda motor jenis bebek dari
Pematangsiantar. Suasana jalan langsung berubah ketika kami memasuki area
kampung dari jalan utama Raya-Pematangsiantar. Jalanannya rusak berat, mendaki,
dan berbatu. Kiri-kanan sepanjang jalan, saya hanya melihat sawah, ladang, pepohonan,
sungai, dan kuburan. Saat itu, kami tiba pukul 7 malam. Jalan itu seperti gambaran
di film horor, tidak ada ujungnya, di mana kami tetap berusaha menembus
kegelapan dan jalanan yang tidak jelas.
Akhirnya, saya tiba di rumah kerja sahabat saya. Dia mengatakan kalau dia ada pekerjaan untuk memberikan bahan persiapan ibadah minggu pada penatua dan majelis gereja yang ditanganinya. Sebagai informasi, sahabat saya ini adalah pendeta resor. Pendeta resor biasanya menaungi beberapa gereja, yang disebut jemaat. Setidaknya ada enam jemaat yang dipegangnya. Hari itu, kami harus mengunjungi jemaat yang paling jauh dari lingkup resor. Dari rumah, kami harus kembali menempuh jalanan yang ekstrem selama 30 menit untuk dapat mencapai tujuan. Dua kali saya harus jalan kaki sambil memegang senter, karena medan yang begitu berat, sehingga tidak memungkinkan untuk berboncengan. Saya sangat kelelahan berjalan sejauh 100 meter, karena jalanan yang mendaki, berbatu, udara dingin yang menikam, serta kegelapan malam yang membuat resah.
Akhirnya, saya tiba di rumah kerja sahabat saya. Dia mengatakan kalau dia ada pekerjaan untuk memberikan bahan persiapan ibadah minggu pada penatua dan majelis gereja yang ditanganinya. Sebagai informasi, sahabat saya ini adalah pendeta resor. Pendeta resor biasanya menaungi beberapa gereja, yang disebut jemaat. Setidaknya ada enam jemaat yang dipegangnya. Hari itu, kami harus mengunjungi jemaat yang paling jauh dari lingkup resor. Dari rumah, kami harus kembali menempuh jalanan yang ekstrem selama 30 menit untuk dapat mencapai tujuan. Dua kali saya harus jalan kaki sambil memegang senter, karena medan yang begitu berat, sehingga tidak memungkinkan untuk berboncengan. Saya sangat kelelahan berjalan sejauh 100 meter, karena jalanan yang mendaki, berbatu, udara dingin yang menikam, serta kegelapan malam yang membuat resah.
Akhirnya, kami sampai di
rumah ketua jemaat (voorhanger) di sana. Saya kaget, karena ketua majelis di
gereja perkotaan biasanya adalah seorang pejabat teras dengan rumah yang super
mewah. Kali ini, saya menemukan rumah ketua jemaat terbuat dari papan, dengan
menyajikan makanan dan minuman di peralatan jamuan yang terbuat dari kaleng. Dari
rumah ketua jemaat itu, kami masih harus berjalan kaki. Ketua jemaat itu
menggunakan sarung dan senter, teman saya juga mengeluarkan sarung yang
dibawanya. Hanya saya yang tidak memakai sarung. Kami tiba di rumah salah satu
penatua. Lumayanlah dalam hatiku berbisik, tidak pakai papan dan sudah terlihat
seperti rumah yang semestinya. Lalu, sahabat saya memperkenalkan saya pada
acara persiapan pelayanan hari minggu, yang dihadiri sekitar 20 orang. Sahabat saya
mengatakan pada peserta acara, bahwa saya tidak dapat berbahasa Simalungun. Mereka
semua tertawa. Ada beberapa orang yang mencoba mengajak saya berbicara. Saya merasa
bahasa Indonesianya aneh. Berulangkali saya merasa ditertawakan dan dibicarakan
dalam bahasa Simalungun. Saya pun tidak tahu artinya.
Acarapun selesai. Waktu di
jam tangan saya menunjukkan pukul 23.30 WIB. Saya sudah sangat lelah, karena
dari pagi saya mengikuti ujian dan sampai malam harus melakukan perjalanan yang
berat. Kami tiba di rumah sekitar pukul 12 malam. Saya bertanya pada sahabat
saya, “Apa yang mereka katakan?” “Mengapa mereka tertawa?”. Sahabat saya
menjelaskan kepada saya bahwa mereka agak aneh berbahasa Indonesia, karena itu
sesuatu yang sangat asing bagi mereka. Jadi, saya diminta untuk tidak langsung
berpikir buruk. Keesokan harinya, saya hendak pulang ke kota Medan. Sebelumnya,
saya diajak oleh sahabat saya untuk menjumpai sekretaris jemaat di gereja
resor-nya. Saya sedikit heran, kalau di Jakarta, sekretaris jemaat biasanya
bekerja sebagai pejabat dan memiliki peralatan sekretaris yang memadai. Namun,
saya melihat sebaliknya. Sekretaris jemaat di sini adalah seorang petani, yang
dokumennya dibundel dengan ikatan karet.
Dalam perjalanan pulang ke
medan, saya merenung bahwa sudah 110 tahun Injil (baca: Kekristenan) masuk ke
tanah Simalungun. Ada banyak kemajuan yang dicatatkannya, seperti pendidikan,
kesehatan, dan kemapanan bekerja telah dikembangkan melalui gereja. Belum pernah
dalam pikiran saya ada jemaat atau warga gereja sampai di pelosok seperti itu,
bahkan ada tempat yang belum ada listrik. Gereja di sana sangat besar-besar,
sekalipun bukan gereja resor. Berbeda di pulau Jawa, gereja sangat kecil,
sampai harus berkebaktian 3-4 kali dalam satu hari minggu. Petugas gereja dan
jemaatnya juga dalam status yang sama, yaitu petani. Hal ini menjadi pertanyaan
reflektif bagi saya, “Apakah saya siap dengan kondisi seperti ini?” Pendeta di
perkampungan tidak hanya sebagai pengajar soal agama, tetapi juga pengajar bagaimana
cara bertani yang baik, bergotong royong dengan baik, memberi pelajaran
tambahan pada anak-anak di ladang/sawah. Ini adalah suatu tantangan yang besar.
Kekristenan bukanlah soal kuantitas (jumlah), melainkan soal kualitas. Meningkatkan
taraf hidup masyarakat di perkampungan agar hidup layak dan dapat mengejar
ketertinggalan dari masyarakat perkotaan adalah tugas pendeta. Pendeta tidak
hanya mengurus soal surga-neraka di hari kelak saja, tapi juga kesejahteraan
warga jemaat “saat ini dan di sini”. Menghadirkan wajah kekristenan yang damai
diawali dengan pemberdayaan warga gereja untuk mencapai kesejahteraan. Bagi
warga Kristen di Simalungun, selamat memperingati 110 tahun Injil masuk di
tanah Simalungun.