Terkait dengan fatwa yang dikeluarkan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahwa haram hukumnya mengucapkan selamat hari
Natal kepada umat Nasrani karena dapat melunturkan iman, tulisan ini hadir
sebagai respons konstruktif.
Dari
pemberitaan berbagai media tentang fatwa MUI itu, saya mendadak teringat cerita
Perang Dunia Pertama. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Perang Dunia Pertama
berlangsung dari tanggal 28 Juli 1914 – 11 November 1918. Memasuki bulan
Desember 1914, perang tetap berlangsung. Saat itu, Perancis berhadapan dengan
Jerman. Ada hal unik yang terjadi dalam perang itu. Salah seorang dari pasukan
Jerman keluar dari persembunyiannya. Dia tidak menggemgam senjata, melainkan
pohon kecil sambil melantunkan lagu “Stille
Natch” (bahasa Jerman, Malam Kudus). Tidak ada satu pun tentara Perancis
yang menembakinya, bahkan para pasukan Jerman lainnya turut bersama-sama
menyanyikannya.
Melihat hal itu, pasukan Perancis juga keluar
dari persembunyian dan mendekati pasukan Jerman. Mereka saling berpelukan dengan
tetesan air mata. Tentunya air mata mereka adalah air mata kerinduan akan
keluarga. Dalam peperangan, mereka tidak tahu apakah dapat kembali dengan
selamat, lalu bertemu dan bersatu kembali dengan keluarga. Ya, tepatnya air
mata kerinduan itu melambangkan ketakutan mereka tidak akan dapat pulang dengan
selamat. Jika biasanya pada hari Natal mereka bersama
berkumpul di meja makan untuk bersenda-gurau, namun saat ini mereka harus terpisah
jauh dari keluarga dan bertaruh hidup mati di arena pertempuran. Gencatan senjata
berlangsung pada saat itu untuk beberapa hari. Sekalipun nantinya perang tetap
dilanjutkan, hal penting yang dapat dimaknai dari cerita itu adalah baik
tentara Perancis dan Jerman yang saling bermusuhan, pada hari Natal mereka
saling mengucapkan “Selamat Natal” antara satu dengan yang lain. Perang
berhenti sejenak.
Hari Natal merupakan peristiwa damai.
Sekalipun dalam arena pertempuran, damai Natal tetap ada di hati para pasukan.
Damai Natal mengingatkan mereka akan keluarga dan sanak-saudara mereka. Damai
Natal memberikan pelukan hangat yang tulus dari seorang yang kita anggap musuh.
Jadi, ucapan selamat Natal merupakan wujud kita berbela rasa, saling
memperhatikan dan saling mengasihi. Apakah itu dapat melunturkan iman?
Saya
mendapat pesan singkat (SMS) dari rekan-rekan saya yang beragama Muslim, mereka
mengucapkan “Selamat Natal” kepada saya. Betapa senangnya hati saya mendapatkan
SMS mereka. Dalam hati, saya berdoa, agar mereka senantiasa diberkati Tuhan
atas kebaikannya. Ucapan “Selamat Natal”
bukanlah ajang permusuhan dan pelunturan iman, tetapi hakikat sejati dari makna
ucapan “Selamat Natal” adalah peperangan / permusuhan telah berakhir. Selamat
Natal kepada Rekan yang merayakannya dan terima kasih kepada Rekan Muslim atas
ucapan “Selamat Natal”-nya.