Selasa, 24 Mei 2022

BERNYANYILAH BAGI TUHAN (KHOTBAH MINGGU KANTATE)


Nyanyian Miryam yang menjadi saksi pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir

Ketika kuda Firaun dengan keretanya dan orangnya yang berkuda telah masuk ke laut, maka TUHAN membuat air laut berbalik meliputi mereka, tetapi orang Israel berjalan di tempat kering dari tengah-tengah laut. (Ay.19)

Apabila berbicara tentang puji-pujian di Alkitab, kita langsung merujuk pada malak malaikat dengan sangkakalanya, Daud dengan mazmurnya, Maria dengan doa pujian Magnificatnya, serta penulis kitab Mazmur lainnya seperti Musa dan Asaf. Namun, teks evanggelium kita saat ini berbicara tentang nyanyian yang dilantunkan oleh Miryam. Siapakah Miryam itu? Miryam merupakan saudara dari Musa dan Harun, anak Amran (1.Taw.6:3a). Ia turut menjadi saksi sejarah bangsa Israel yang baru saja keluar dari perbudakan Mesir, ditandai dengan dikuburkannya tentara Firaun bersama kereta perangnya di tengah laut. Puji-pujian Miryam terjadi di sela-sela pujian yang dilantunkan oleh Musa.


Miryam, seorang nabiah, larut di dalam lantunan pujian “orang tertebus” Musa

Lalu Miryam, nabiah itu, saudara perempuan Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah semua perempuan mengikutinya memukul rebana serta menari-nari. (Ay.20)

Kidung yang dinyanyikan Musa ini pastinya sangat indah bentuknya, baik itu lirik maupun komposisi nadanya. Dalam iman, kita yakin bahwa Musa menggubah mazmur “orang tertebus ini” ini di dalam tuntunan Roh Tuhan. Sehingga, mazmur Musa ini menyentuh kedalaman jiwa para pendengarnya. Tidak salah kalau mazmur Musa ini dijadikan bangsa Israel sebagai pujian atau himne ritus yang wajib dinyanyikan ketika hendak memasuki Bait Allah yang kudus.

Miryam pun larut secara emosional di dalam lagu itu. Secara spontan, ia meraih tamborine/rebana untuk mengiringi mazmur Musa, lalu diikuti tari-tarian. Ekspresi penghayatan Miryam ini ternyata berhasil ditularkan pada perempuan yang ada di rombongan keluaran itu. Secara psikologis, musik memang dapat memengaruhi tubuh dengan sangat kuat.  Prof.Rolf Inge Godoy, dkk (University of Oslo) mengeksplor teori mengenai hubungan antara suara musik dan gerakan tubuh. Penelitian ini dipublikasikan di Journal of New Music Research. Berdasarkan teori, kita bisa memahami sesuatu bila secara aktif menirukan gerakan yang terkait dengan gerak sensorik yang sedang coba diproses. Jadi, ketika kita mendengarkan musik, kita cenderung secara mental mensimulasikan gerakan tubuh. Ini bisa dianggap sebagai semacam representasi bentuk.

Miryam seorang pemimpin perempuan karismatik yang berhasil mentransferkan spirit pembebasannya pada para perempuan yang berbeban berat

Dan menyanyilah Miryam memimpin mereka: ”Menyanyilah bagi TUHAN, sebab Ia tinggi luhur; kuda dan penunggangnya dilemparkan-Nya ke dalam laut.” (Ay.21)

Tidak hanya berhasil mengajak para perempuan berekspresi dan menari, Miryam juga berhasil mengajak perempuan di sana untuk menyanyi. Tidak mudah untuk mengajak perempuan di sana bernyanyi, sebab mereka adalah sosok yang mungkin paling menderita. Budaya patriakhi bangsa Yahudi, membuat para perempuan sebagai warga kelas dua. Belum lagi status perbudakan Mesir, yang banyak sekali memberikan penderitaan pada mereka, salah satunya adalah kehilangan anak laki-laki mereka ketika Firaun memerintahkan untuk membunuh bayi-bayi laki-laki bangsa Israel yang lahir. Ada dua hal secara teoritis yang membuat Miryam berhasil masuk ke sisi emosional terdalam para perempuan, yaitu:

1.    Visi suara kenabian yang kuat dari Miryam

Miryam disebut dengan nabiah. Ini suatu jabatan kepemimpinan yang besar dicatatkan Alkitab atas seorang perempuan. Jabatan yang diemban oleh Miryam bukan tanpa sebab. Catatan Keyahudian, Sotah 12a menceritakan, suara kenabian Miryam sudah terlihat sejak ia kecil. Miryam mendesak ayahnya tidak menceraikan ibunya karena dalam visinya ia melihat ibunya akan melahirkan seorang anak yang akan menjadi pembebas atas Israel. Ketika ada perintah dari Firaun untuk membunuh bayi laki-laki Israel, ayahnya memarahi dan mempertanyakan visi yang ada di dalam diri Miryam. Sekalipun demikian, ia tetap teguh dalam visinya yang ia tahu berasal dari Tuhan. Ia pun memberontak dari perintah Firaun.

 

2.    Semangat “pemberontakan” Miryam yang memotivasi para perempuan

Chana Weisberg, seorang tokoh gerakan feminis Yahudi, mencoba untuk membantu kita mengerti fenomena keberhasilan Miryam memengaruhi perempuan Israel yang ada di dalam rombongan Keluaran dari perbudakan Mesir. Ia melihat bahwa perempuan di sana merasakan solidaritas “pemberontakan” yang dilakukan oleh Miryam. Secara etimologis, nama Miryam tidak hanya berarti pahit/berbeban berat (akar kata “Mar”), tapi juga pemberontak (akar kata “Mir”). Memang, Alkitab dalam beberapa episode pernah menyorot kehidupan Miryam yang tidak jarang terlihat berani sekali melawan arus utama. Ia memberontak atas putusan Firaun yang memerintahkan agar seluruh rakyatnya membuang bayi laki-laki Israel ke sungai Nil (Kel.1:22, Kel.2:4-9). Kuatnya prinsip Miryam ini menjadikannya sebagai pemimpin perempuan yang direkomendasikan Allah di tengah bangsa Israel kala itu (Mi.6:4). Sayangnya,  pemberontakan Miryam ini dianggap kelewat batas sehingga Allah menghukumnya. Miryam mempertanyakan putusan Musa yang mengambil perempuan Kush. Bagi Miryam, posisi Musa bukan tanpa kritik karena Harun dan dirinya juga merupakan sarana Tuhan menyampaikan firman-Nya. Hal ini di mata Tuhan bukan sesuatu yang baik. Ia pun ditimpakan penyakit kusta (Bil.12). Walaupun begitu, terlepas dari paradoks pemberontakannya, Miryam tetap mengambil posisi kepemimpinan spiritualitas yang sangat baik di tengah-tengah perempuan bangsa Israel.

Refleksi Aplikasi:

Sekian jauh pembahasan kita tentang Miryam dan keberhasilannya memengaruhi perempuan di sana untuk bernyanyi, berdendang, dan menari, apa yang dapat kita refleksikan dan aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari?

Ternyata, kita mendapatkan suatu makna baru di dalam “Bernyanyi bagi Tuhan” berkaca pada apa yang dilakukan oleh Miryam di Keluaran 15 ini. Bernyanyi bagi Tuhan di teks firman Tuhan saat ini adalah upaya Miryam untuk mengangkat semangat para perempuan di sana. Sekalipun perempuan Yahudi secara budaya adalah pihak yang termarjinalkan, dan secara luka batin adalah mereka yang berduka karena kehilangan darah daging yang keluar dari rahimnya, tapi semua itu tidak dapat merebut kuasa Allah yang luar biasa di tengah kehidupan, termasuk membebaskan mereka dari perbudakan Mesir.

Sehingga, kita yang menjadi umat percaya di masa kini dapat menghayati bagaimana cara kita memuliakan Tuhan dengan puji-pujian setiap harinya, maupun setiap minggunya di dalam ibadah. Bahwa, ketika kita bernyanyi memuji Tuhan, sesungguhnya, kita tidak hanya memuji kebesaran nama Tuhan melalui lantunan lagu itu, tetapi juga kita solider pada mereka yang diliputi perasaan sedih dan dukacita, yang butuh dikuatkan melalui karya Allah yang diceritakan dalam lagu itu.

Kita dapat mengambil contoh sebagai bagian penutup di dalam ibadah ini :

1.       KJ.388, “S’lamat di Tangan Yesus”

S’lamat di tangan Yesus, aman pelukan-Nya; dalam teduh kasih-Nya aku bahagia. Lagu merdu malaikat olehku terdengar dari neg’ri mulia: damai sejahtera. S’lamat di tangan Yesus, aman pelukan-Nya; dalam teduh kasih-Nya aku bahagia.

Bagaimana suasana lagu itu? Bahagia? Senang? Secara lirik dan komposisi nada, Ya betul. Tetapi, secara kisah di balik lagu, itu merupakan lagu sedih. Fanny Crossby menikah tahun 1858 dengan Alexander van Alstynem seorang tuna netra dan juga pemusik. Tahun 1859, putrinya lahir namun meninggal dalam tidur setelah lahir. Kematian putrinya tersebut menginspirasi Fanny menulis syair lagu” Safe in the Arms of Jesus”

2.       KJ.392, “Ku Berbahagia Yakin Teguh”

‘Ku berbahagia, yakin teguh: Yesus abadi kepunyaanku! Aku waris-Nya, ‘ku ditebus, ciptaan baru Rohul kudus. Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya. Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.

Bagaimana suasana di dalam lagu ini? Ya, lagu ini menceritakan tentang kebahagiaan bila bersama dengan Yesus. Tetapi, lagu ini juga adalah lagu kesedihan dari seorang yang dunianya diliputi kegelapan.  Fanny Crosby adalah seorang bayi perempuan lahir di desa Brewster, daerah bagian utara kota New York. Hari itu tepat tanggal 24 Maret 1820. Saat usianya baru 6 minggu, dia mengalami demam. Namun karena salah penanganan dokter, kedua matanya menjadi buta. Di tahun itu juga, ayahnya, meninggal dunia hingga bayi kecil itu hanya diasuh ibu dan neneknya.Saat usianya 5 tahun,melalui pemeriksaan dokter diketahui matanya tidak bisa dioperasi dan kebutaannya bersifat permanen.Sejak itu gadis kecil itu menjalani hidupnya dalam kegelapan. Bertumbuh besar dan dewasa menikah dengan pria tunanetra juga, tetapi anak mereka pada saat itu langsung meninggal dunia. Suatu kisah tragis dari seseorang yang dunianya diliputi kegelapan. Tetapi, Fanny Crosby tetap kuat di dalam imannya kepada Kristus. Ia bersaksi, “This is my story, this is my song. Praising my Savior all the day long

Demikian juga dengan banyak lagu lainnya di antaranya Pass Me Not, O Gentle Savior (KJ No. 26, Mampirlah Dengar Doaku), All The Way My Savior Leads Me (KJ 408 Di Jalanku Ku Diiring), I Must Have The Savior With Me (KJ 402 Kuperlukan Juru’Slamat), Jesus, Keep Me Near The Cross (KJ 368 Pada Kaki Salimu), dll.

Ketika menyanyikan himne ini kita diajak untuk solider kepada kisah Fanny Crosby sebagai disabilitas yang dirundung kemalangan, sembari kita menguatkan mereka yang sedang di dalam kesulitan hidup yang membutuhkan lawatan kuasa Allah yang luar biasa hebat yang diceritakan di dalam lagu itu.

Sehingga, minggu Kantante pada saat ini mengajak kita, “Bernyanyilah Bagi Tuhan”. Amin.

 

Khotbah di GKPI Menteng, Ressort Jakarta Raya-2

15 Mei 2022

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar