Nyanyian Miryam yang menjadi saksi pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir
Ketika kuda Firaun
dengan keretanya dan orangnya yang berkuda telah masuk ke laut, maka TUHAN
membuat air laut berbalik meliputi mereka, tetapi orang Israel berjalan di
tempat kering dari tengah-tengah laut. (Ay.19)
Apabila berbicara
tentang puji-pujian di Alkitab, kita langsung merujuk pada malak malaikat
dengan sangkakalanya, Daud dengan mazmurnya, Maria dengan doa pujian
Magnificatnya, serta penulis kitab Mazmur lainnya seperti Musa dan Asaf. Namun,
teks evanggelium kita saat ini berbicara tentang nyanyian yang dilantunkan oleh
Miryam. Siapakah Miryam itu? Miryam merupakan saudara dari Musa dan Harun, anak
Amran (1.Taw.6:3a). Ia turut menjadi saksi sejarah bangsa Israel yang baru saja
keluar dari perbudakan Mesir, ditandai dengan dikuburkannya tentara Firaun
bersama kereta perangnya di tengah laut. Puji-pujian Miryam terjadi di
sela-sela pujian yang dilantunkan oleh Musa.
Miryam, seorang nabiah, larut di dalam lantunan pujian “orang tertebus” Musa
Lalu Miryam, nabiah
itu, saudara perempuan Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah
semua perempuan mengikutinya memukul rebana serta menari-nari. (Ay.20)
Kidung yang dinyanyikan
Musa ini pastinya sangat indah bentuknya, baik itu lirik maupun komposisi
nadanya. Dalam iman, kita yakin bahwa Musa menggubah mazmur “orang tertebus
ini” ini di dalam tuntunan Roh Tuhan. Sehingga, mazmur Musa ini menyentuh
kedalaman jiwa para pendengarnya. Tidak salah kalau mazmur Musa ini dijadikan
bangsa Israel sebagai pujian atau himne ritus yang wajib dinyanyikan ketika
hendak memasuki Bait Allah yang kudus.
Miryam pun larut secara
emosional di dalam lagu itu. Secara spontan, ia meraih tamborine/rebana untuk
mengiringi mazmur Musa, lalu diikuti tari-tarian. Ekspresi penghayatan Miryam
ini ternyata berhasil ditularkan pada perempuan yang ada di rombongan keluaran
itu. Secara psikologis, musik memang dapat memengaruhi tubuh dengan sangat
kuat. Prof.Rolf Inge Godoy, dkk (University
of Oslo) mengeksplor teori mengenai hubungan antara suara musik dan gerakan
tubuh. Penelitian ini dipublikasikan di Journal of New Music Research. Berdasarkan
teori, kita bisa memahami sesuatu bila secara aktif menirukan gerakan yang
terkait dengan gerak sensorik yang sedang coba diproses. Jadi, ketika kita
mendengarkan musik, kita cenderung secara mental mensimulasikan gerakan tubuh.
Ini bisa dianggap sebagai semacam representasi bentuk.
Miryam seorang pemimpin perempuan karismatik yang berhasil mentransferkan spirit pembebasannya pada para perempuan yang berbeban berat
Dan menyanyilah
Miryam memimpin mereka: ”Menyanyilah bagi TUHAN, sebab Ia tinggi luhur; kuda
dan penunggangnya dilemparkan-Nya ke dalam laut.” (Ay.21)
Tidak hanya berhasil
mengajak para perempuan berekspresi dan menari, Miryam juga berhasil mengajak
perempuan di sana untuk menyanyi. Tidak mudah untuk mengajak perempuan di sana
bernyanyi, sebab mereka adalah sosok yang mungkin paling menderita. Budaya
patriakhi bangsa Yahudi, membuat para perempuan sebagai warga kelas dua. Belum
lagi status perbudakan Mesir, yang banyak sekali memberikan penderitaan pada
mereka, salah satunya adalah kehilangan anak laki-laki mereka ketika Firaun
memerintahkan untuk membunuh bayi-bayi laki-laki bangsa Israel yang lahir. Ada
dua hal secara teoritis yang membuat Miryam berhasil masuk ke sisi emosional
terdalam para perempuan, yaitu:
1. Visi suara kenabian yang kuat dari
Miryam
Miryam disebut dengan
nabiah. Ini suatu jabatan kepemimpinan yang besar dicatatkan Alkitab atas
seorang perempuan. Jabatan yang diemban oleh Miryam bukan tanpa sebab. Catatan
Keyahudian, Sotah 12a menceritakan, suara kenabian Miryam sudah terlihat sejak
ia kecil. Miryam mendesak ayahnya tidak menceraikan ibunya karena dalam visinya
ia melihat ibunya akan melahirkan seorang anak yang akan menjadi pembebas atas
Israel. Ketika ada perintah dari Firaun untuk membunuh bayi laki-laki Israel,
ayahnya memarahi dan mempertanyakan visi yang ada di dalam diri Miryam.
Sekalipun demikian, ia tetap teguh dalam visinya yang ia tahu berasal dari
Tuhan. Ia pun memberontak dari perintah Firaun.
2. Semangat “pemberontakan” Miryam yang
memotivasi para perempuan
Chana Weisberg, seorang
tokoh gerakan feminis Yahudi, mencoba untuk membantu kita mengerti fenomena keberhasilan
Miryam memengaruhi perempuan Israel yang ada di dalam rombongan Keluaran dari
perbudakan Mesir. Ia melihat bahwa perempuan di sana merasakan solidaritas
“pemberontakan” yang dilakukan oleh Miryam. Secara etimologis, nama Miryam
tidak hanya berarti pahit/berbeban berat (akar kata “Mar”), tapi juga
pemberontak (akar kata “Mir”). Memang, Alkitab dalam beberapa episode pernah
menyorot kehidupan Miryam yang tidak jarang terlihat berani sekali melawan arus
utama. Ia memberontak atas putusan Firaun yang memerintahkan agar seluruh
rakyatnya membuang bayi laki-laki Israel ke sungai Nil (Kel.1:22, Kel.2:4-9).
Kuatnya prinsip Miryam ini menjadikannya sebagai pemimpin perempuan yang direkomendasikan
Allah di tengah bangsa Israel kala itu (Mi.6:4). Sayangnya, pemberontakan Miryam ini dianggap kelewat
batas sehingga Allah menghukumnya. Miryam mempertanyakan putusan Musa yang
mengambil perempuan Kush. Bagi Miryam, posisi Musa bukan tanpa kritik karena
Harun dan dirinya juga merupakan sarana Tuhan menyampaikan firman-Nya. Hal ini
di mata Tuhan bukan sesuatu yang baik. Ia pun ditimpakan penyakit kusta
(Bil.12). Walaupun begitu, terlepas dari paradoks pemberontakannya, Miryam
tetap mengambil posisi kepemimpinan spiritualitas yang sangat baik di
tengah-tengah perempuan bangsa Israel.
Refleksi Aplikasi:
Sekian jauh pembahasan kita tentang Miryam dan keberhasilannya memengaruhi perempuan di sana untuk bernyanyi, berdendang, dan menari, apa yang dapat kita refleksikan dan aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari?
Ternyata, kita
mendapatkan suatu makna baru di dalam “Bernyanyi bagi Tuhan” berkaca pada apa
yang dilakukan oleh Miryam di Keluaran 15 ini. Bernyanyi bagi Tuhan di teks
firman Tuhan saat ini adalah upaya Miryam untuk mengangkat semangat para
perempuan di sana. Sekalipun perempuan Yahudi secara budaya adalah pihak yang
termarjinalkan, dan secara luka batin adalah mereka yang berduka karena
kehilangan darah daging yang keluar dari rahimnya, tapi semua itu tidak dapat
merebut kuasa Allah yang luar biasa di tengah kehidupan, termasuk membebaskan
mereka dari perbudakan Mesir.
Sehingga, kita yang
menjadi umat percaya di masa kini dapat menghayati bagaimana cara kita
memuliakan Tuhan dengan puji-pujian setiap harinya, maupun setiap minggunya di
dalam ibadah. Bahwa, ketika kita bernyanyi memuji Tuhan, sesungguhnya, kita
tidak hanya memuji kebesaran nama Tuhan melalui lantunan lagu itu, tetapi juga
kita solider pada mereka yang diliputi perasaan sedih dan dukacita, yang butuh
dikuatkan melalui karya Allah yang diceritakan dalam lagu itu.
Kita dapat mengambil
contoh sebagai bagian penutup di dalam ibadah ini :
1. KJ.388, “S’lamat di Tangan Yesus”
S’lamat di tangan Yesus, aman pelukan-Nya; dalam teduh kasih-Nya aku
bahagia. Lagu merdu malaikat olehku terdengar dari neg’ri mulia: damai
sejahtera. S’lamat di tangan Yesus, aman pelukan-Nya; dalam teduh kasih-Nya aku
bahagia.
Bagaimana suasana lagu itu? Bahagia? Senang? Secara lirik dan komposisi nada, Ya betul. Tetapi, secara kisah di balik lagu, itu merupakan lagu sedih. Fanny Crossby menikah tahun 1858 dengan Alexander van Alstynem seorang tuna netra dan juga pemusik. Tahun 1859, putrinya lahir namun meninggal dalam tidur setelah lahir. Kematian putrinya tersebut menginspirasi Fanny menulis syair lagu” Safe in the Arms of Jesus”
2. KJ.392, “Ku Berbahagia Yakin Teguh”
‘Ku berbahagia, yakin teguh: Yesus abadi kepunyaanku! Aku waris-Nya, ‘ku
ditebus, ciptaan baru Rohul kudus. Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus
selamanya. Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.
Bagaimana suasana di dalam lagu ini? Ya, lagu ini menceritakan tentang kebahagiaan bila bersama dengan Yesus. Tetapi, lagu ini juga adalah lagu kesedihan dari seorang yang dunianya diliputi kegelapan. Fanny Crosby adalah seorang bayi perempuan lahir di desa Brewster, daerah bagian utara kota New York. Hari itu tepat tanggal 24 Maret 1820. Saat usianya baru 6 minggu, dia mengalami demam. Namun karena salah penanganan dokter, kedua matanya menjadi buta. Di tahun itu juga, ayahnya, meninggal dunia hingga bayi kecil itu hanya diasuh ibu dan neneknya.Saat usianya 5 tahun,melalui pemeriksaan dokter diketahui matanya tidak bisa dioperasi dan kebutaannya bersifat permanen.Sejak itu gadis kecil itu menjalani hidupnya dalam kegelapan. Bertumbuh besar dan dewasa menikah dengan pria tunanetra juga, tetapi anak mereka pada saat itu langsung meninggal dunia. Suatu kisah tragis dari seseorang yang dunianya diliputi kegelapan. Tetapi, Fanny Crosby tetap kuat di dalam imannya kepada Kristus. Ia bersaksi, “This is my story, this is my song. Praising my Savior all the day long”
Demikian juga dengan
banyak lagu lainnya di antaranya Pass Me Not, O Gentle Savior (KJ No. 26, Mampirlah
Dengar Doaku), All The Way My Savior Leads Me (KJ 408 Di Jalanku Ku Diiring), I
Must Have The Savior With Me (KJ 402 Kuperlukan Juru’Slamat), Jesus, Keep Me
Near The Cross (KJ 368 Pada Kaki Salimu), dll.
Ketika menyanyikan himne
ini kita diajak untuk solider kepada kisah Fanny Crosby sebagai disabilitas
yang dirundung kemalangan, sembari kita menguatkan mereka yang sedang di dalam
kesulitan hidup yang membutuhkan lawatan kuasa Allah yang luar biasa hebat yang
diceritakan di dalam lagu itu.
Sehingga, minggu
Kantante pada saat ini mengajak kita, “Bernyanyilah Bagi Tuhan”. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar