Selasa, 24 Mei 2022

Jangan Duduk Diam, Tetapi Bangunlah (Yoh.5:1-9, Catatan Khotbah POUK Kelapa Gading, 22 Mei 2022)

 

 


Pemecatan Letjen TNI Prof.Dr. dr.Terawan Agus Putranto, Sp.Rad atau lebih dikenal dengan nama dr.Terawan, dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), menjadi berita yang sangat menarik simpatik masyarakat kita. Sepertinya, masyarakat tidak menolak penanganan medis Digital Subtraction Angiography (DSA) atau familiar disebut dengan cuci otak oleh dr.Terawan. Namun, IDI bersikeras bahwa pekerjaan dr.Terawan dinilai tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sehingga, praktek ini dianggap bahaya karena mengabaikan kode etik dunia kedokteran. Lantas, mengapa masyarakat kita malah dominan melawan IDI? Bukannya, masyarakat kita seharusnya bersyukur ketika IDI berusaha mencegah terjadinya malpraktek dokter di Indonesia? Anehnya lagi, bagaimana mungkin masyarakat malah mendukung didirikannya organisasi ikatan profesi dokter tandingan sebagai pesaing IDI? Apabila memerhatikan suara masyarakat yang mendukung dr.Terawan, kita menemukan ada kebulatan sikap yang menyuarakan akan adanya pengharapan dari tindakan dr.Terawan selama ini. Masyarakat secara umum menilai bahwa sekalipun praktek itu berbahaya dan tidak berbasis ilmiah, tetapi ada harapan kesembuhan yang murah, efektif, dan efisien yang sesuai kantong masyarakat. Selama ini, pengobatan yang berhubungan dengan penyumbatan di pembuluh darah sangat mahal dan tidak semua dapat mengaksesnya. Isunya kemudian digiring pada kapitalisasi kesehatan di Indonesia. Fenomena dr.Terawan ini membawa kita kemudian pada dua pilihan, “membangkitkan harapan” atau “menegakkan kode etik ilmiah”?

Fenomena dr.Terawan ini dapat menjadi jalan masuk bagi kita untuk memahami bagaimana pekerjaan Tuhan Yesus yang fenomenal juga yang ada di perikop ini. Teks kita berbicara tentang ada banyaknya orang  sakit, seperti orang buta, timpang/pincang, lumpuh, dan sakit lainnya, sedang berada di pinggir kolam (ay.3). Mereka percaya akan sebuah kolam di dekat pintu gerbang Anak Domba, Yerusalem, yang sering disebut Bethesda, di mana ketika airnya berguncang pertanda malaikat Tuhan datang. Sehingga, siapapun yang masuk di dalamnya bisa menjadi pulih (ay.2,4). Dalam bahasa Aram, Bethesda berarti house of mercy (rumah belas kasih). Yesus bertepatan hadir di sana untuk melihat perjuangan orang sakit yang mengharapkan kesembuhannya. Kehadiran Yesus diceritakan Injil Yohanes awalnya untuk menghadiri hari raya orang Yahudi. Sekalipun tidak dijelaskan hari raya apa, kemungkinan besar hari raya pesta panen tujuh minggu atau Pentakosta Yahudi (ay.1).  Kehadiran Yesus sungguh memberikan makna bagi orang yang telah terbaring sakit 38 tahun lamanya (ay.5). Orang itu hadir di sana tapi tidak tahu bagaimana caranya supaya dapat masuk ke kolam. Ia sendiri tidak dapat mengangkat tubuhnya dan masuk ke kolam. Terlebih, ada banyak orang yang sudah menanti-nantikan kapan guncangan air itu datang. Ia sudah pasti kalah, sebab tidak akan ada orang yang mau membantunya (ay.7). Mengapa tidak ada orang yang mau membantu untuk mengangkatnya? Sebab, hari itu adalah hari Sabat, di mana tidak boleh ada yang bekerja, termasuk mengangkat tilam (ay.9). Sehingga, Yesus merasa perlu memberikannya harapan, “Maukah engkau sembuh?” (ay.6). Yesus tahu kalau kesembuhan seorang yang sedang sakit dimulai dari membangun pengharapannya terlebih dahulu. Melihat semangat seorang yang sakit itu, Yesus memerintahkan, “Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah” (ay.8). Bagi kita sebagai pembaca di masa kini, perintah Yesus itu sederhana. Tapi, hal ini tidak bagi mereka yang hidup di masa itu. Orang yang sakit selama 38 tahun itu diberikan pilihan yang sangat berat, “Ia mau sembuh?” atau “Ia mau mengamalkan Hukum Taurat?”. Bila memilih kesembuhan, ia sudah pasti melanggar Taurat. Tetapi, bila mengamalkan Taurat, ia akan melewatkan kesembuhan setelah menantikan 38 tahun lamanya. Karena Yesus diceritakan tidak membantunya untuk turun ke kolam, tentu ia yang harus memilih sendiri. Ini ibarat pengantar kita di awal tadi dalam kasus Terawan, “membangkitkan pengharapan” atau “menegakkan kode etik ilmiah”? Dan, orang yang sakit 38 tahun itu memilih untuk mengikuti perintah Yesus. Ia pun sembuh karena kuasa firman-Nya, bukan karena air kolam Bethesda itu.

Hal yang dapat kita refleksikan dari firman Tuhan pada saat ini bagaimana kuasa firman-Nya bekerja menerobos sekat-sekat yang dibangun oleh manusia. Memang perintah Tuhan dalam bentuk Taurat itu diturunkan Allah kepada bangsa Israel melalui Musa. Namun, Taurat itu kemudian telah dikonstruksi sedemikan rupa sebagai alat legitimasi mengukur seseorang itu baik atau tidak di tengah masyarakat. Inilah yang dikritik oleh Yesus dari para tokoh agama yang menggunakan Taurat sebagai pencitraan diri mereka. Taurat tidak lagi sebagai alat untuk menuntun kehidupan umat Tuhan di dalam keadaan yang tertib, tetapi sudah terjebak di dalam kemunafikan. Injil Yohanes ketika mencatatkan kesaksian tentang Tuhan Yesus yang memberikan perintah kepada orang yang sudah 38 tahun lamanya terbaring sakit, sesungguhnya juga tengah memberitahukan pembacanya,  apakah kita sungguh mau turut kepada perintah Tuhan Yesus? Karena, apabila kita mau menuruti perintah Tuhan Yesus, hal itu berarti kita dengan sungguh mau mengakui keilahian dari Yesus Kristus. Sebagaimana kesaksian Injil Yohanes, bahwa Yesus Kristus itu datang dari Bapa-Nya dan memberitahukan kita tentang pekerjaan Allah yang di surga di tengah dunia. Kita pun diajak seperti orang yang sakit selama 38 tahun itu untuk menolak sistem beriman yang sangat destruktif dan menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Secara tidak langsung, orang yang sakit selama 38 tahun itu mengakui bahwa Yesus itu datang-Nya dari Allah. Untuk itu, baiklah kita meneladani iman orang yang sakit selama 38 tahun itu, dengan mau menuruti perintah Tuhan Yesus. Marilah kita semua umat percaya, jangan duduk diam, tapi bangunlah!

 

Pdt.Theodorus Benyamin Sibarani, S.Si (Teol), M.Kesos

GKPI Ressort Jakarta Raya-1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar