Di dalam studi postkolonial, ada beberapa sarjana teolog,
melihat bagaimana Paulus seolah memberikan dukungan bagi praktek
perhambaan/perbudakan di dalam teks kita pada minggu ini. Tapi, beberapa lain
melihat, kalau sekalipun seolah Paulus mendukung praktek perhambaan/perbudakan
di dalam teks ini, tetapi untuk konteks di zaman ia hidup, Paulus sudah sangat
maju di dalam memperjuangkan nilai kemanusiaan. Hal itu terlihat dari bagaimana
ia menempatkan seorang perempuan / istri mendapatkan peran yang penting di
dalam rumah tangga Kristen. Sedangkan, umat manusia merumuskan Universal Declaration of Human Rights
baru di tahun 1948. Bahkan, Amerika Serikat yang selalu menyuarakan pentingnya
demokrasi di dalam meningkatkan harkat, martabat, dan derajat kemanusiaan,
malah baru-baru ini terpukul dengan perilaku rasial oknum petugas keamanannya. Black Lives Matter menjadi suara yang
menggema di seluruh dunia sebagai dampak yang terjadi di negara kemanusiaan
itu.
Paulus tentu menggunakan gambaran hubungan Tuan-Hamba di
teks kita saat ini tentu di dalam kepentingan untuk mengilustrasikan bagaimana
seharusnya hubungan manusia kepada Tuhan. Tentu sekali, di zaman Paulus, hal
itu sangat kontekstual dan relevan. Dengan demikian, orang beriman pada masa
itu bisa dengan mudah memahami bagaimana seharusnya sikap manusia memosisikan
dirinya di hadapan Tuhannya. Konteks firman Tuhan bagi kita di minggu ini,
masih di dalam korelasinya dengan bagaimana seorang umat beriman yang telah
memutuskan komitmen untuk kehidupan baru di dalam Tuhan, khususnya di dalam
kaitannya di rumah tangga.
Hamba pada masa itu dihitung sebagai bagian dari rumah
tangga, karena mereka tinggal di tengah keluarga tuannya. Karena mereka hidup
dari pemberian tuannya, maka Paulus mengingatkan para hamba untuk tidak
melawan, bahkan lari dari tuannya. Malahan, para hamba harus menaati tuannya.
Tujuannya, bagi Paulus, bukan hanya sekadar untuk menyenangkan hati tuannya,
tetapi juga sebagai bakti mereka di dalam rasa takut akan Tuhan (ay.22).
Perbuatan taat itu menurut Paulus merupakan totalitas
dari kehidupan umat percaya sebagaimana mereka memberikan
persembahan-penyembahan kepada Tuhan (ay.23). Mengapa demikian? Paulus
menjelaskan pada bagian berikutnya karena Tuan yang sejati adalah Kristus
(ay.24). Sebagai Tuan, Kristus akan memberikan upah bagi hamba-Nya yang setia.
Tetapi, bagi hamba yang berbuat kesalahan, maka Tuhan akan menuntut hamba itu
agar menanggung kesalahannya, siapapun ia orangnya (ay.25).
Menggumuli “tesis” Paulus bahwa “apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti
untuk Tuhan dan bukan untuk manusia”, hal itu dapat kita hadapkan dengan
pemikiran James Fowler mengenai Tahapan Perkembangan Iman (Faith Development). Fowler mengkonstruksikan bahwa ada 6 tahapan
perkembangan iman, sesuai dengan aspek pertumbuhannya, seperti logika (logic), perspektif sosial (social perspective), penilaian moral (moral judgement), kesadaran sosial (social awareness), tempat kekuasaan (locus of authority), dunia koherensi (world cohorence), fungsi simbol (symbolic function). Pada akhirnya,
Fowler menempatkan tahapan tertinggi dari pertumbuhan iman adalah
Universalisasi Keimanan (Universalizing
Faith), di mana seluruh aspek di dalam hidup manusia termaktub di dalamnya.
Artinya, seorang percaya dapat melihat kesehari-harian di sekitar hidupnya
sangat dekat dengan tindakan beriman. Ia tidak sekadar percaya, tetapi ia
mengerjakan apa yang diimaninya itu di dalam seluruh kesadaran, dan perbuatannya.
Bagi kita, umat percaya di masa kini, khususnya warga
jemaat GKPI Jelambar, kita dapat merefleksikan bahwa puncak dari kehidupan
beriman kita adalah kemampuan kita mengkorelasikan kehidupan sehari-hari kita
di dalam iman percaya kita kepada Tuhan Yesus Kristus. Misalnya saja, di dalam
masa sulit Pandemi Covid-19 ini, kita melakukan protokoler kesehatan sebagai
adaptasi kehidupan baru di masa kini sesungguhnya kita melakukannya tidak hanya
untuk diri kita sendiri saja, tetapi juga untuk Tuhan yang kepadanya kita
menyembah-bersembah. Kita mengenakan masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci
tangan, karena di dalam kesadaran kita bahwa Tuhan menghendaki kita hidup di
dalam kedisiplinan, terutama di dalam menjaga kondusifitas sekeliling kita.
Singkatnya, adalah tugas umat percaya di dalam menekan laju infeksi Covid-19
sehingga masa sulit Pandemi Covid-19 ini segera berlalu. Marilah kita bekerja
untuk Tuhan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar