Senin, 23 September 2013

110 Tahun Injil Masuk Simalungun

 Dokumentasi Pribadi : Gereja Resor tempat Sahabat Saya Bertugas


Tanggal 8 September 2013, saya mendaratkan kembali kaki saya di kota Medan. Bagi saya, inilah permulaan hidup saya yang baru, karena saya memutuskan untuk berhenti berkarya di bidang sekuler dan memilih untuk melanjutkan hidup sebagai seorang teolog yang profesional, yaitu pengerja gereja. Saya dijadwalkan akan mengikuti tes / ujian masuk vikar (vikar adalah calon pendeta) pada tanggal 17-19 September 2013 di Pematangsiantar. Mengapa di Pematangsiantar? Karena kantor pusat dari gereja saya, Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), berada di Pematangsiantar.
 
Pematangsiantar adalah suatu kota yang terletak tepat di tengah Kabupaten Simalungun. Masyarakat di sana mayoritas berlatar belakang budaya Simalungun. Simalungun termasuk bagian dari Batak, tetapi tradisi dan bahasanya berbeda dengan Batak Toba, Angkola, dan lainnya. Masyarakat Simalungun mayoritas memeluk agama Kristen, khususnya Protestan. Gereja yang menopangnya adalah Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).  

Salah seorang teman saya baru saja ditahbiskan menjadi pendeta di GKPS. Saya merasa beruntung ketika selesai mengikuti tes masuk vikar, saya dapat bertemu dengan teman saya yang telah menjadi pendeta di GKPS. Nama teman saya adalah Immanuel Christian Sitio. Selain menjadi teman, dia juga adalah sahabat saya. Kami sama-sama  menjadi mahasiswa Fakulas Teologi di Universitas Kristen Satya Wacana yang berasal dari Medan. Saat di Asrama, kami pernah menjadi teman sekamar. Banyak perkembangan yang saya temukan dari sahabat saya ini. Dulunya, dia tidak bisa berbahasa Simalungun dan buta dengan adat serta budaya Simalungun. Namun saat ini, dia begitu mahir dan sangat memahami budaya Simalungun. Memang ketika kami lulus dari Salatiga, dia langsung memutuskan untuk mengikuti seleksi vikar di GKPS, sedangkan saya memutuskan untuk melanjutkan studi ke Universitas Indonesia. Alhasil, setelah saya menyelesaikan studi, dia telah ditahbiskan menjadi seorang pendeta.

Menarik mengikuti pengalamannya menjadi seorang pendeta. Penempatan pertamanya sebagai pendeta oleh GKPS ditempatkan di pelosok Raya. Sahabat saya ini ditempatkan di salah satu kampung yang berada di Raya, Pematangsiantar. Dari Pematangsiantar menuju Raya membutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan darat. Setiba di Raya, untuk dapat tiba di kampung yang menjadi medan pelayanannya, harus ditempuh sekitar 30 menit. Saya dibonceng olehnya menggunakan sepeda motor jenis bebek dari Pematangsiantar. Suasana jalan langsung berubah ketika kami memasuki area kampung dari jalan utama Raya-Pematangsiantar. Jalanannya rusak berat, mendaki, dan berbatu. Kiri-kanan sepanjang jalan, saya hanya melihat sawah, ladang, pepohonan, sungai, dan kuburan. Saat itu, kami tiba pukul 7 malam. Jalan itu seperti gambaran di film horor, tidak ada ujungnya, di mana kami tetap berusaha menembus kegelapan dan jalanan yang tidak jelas.

 Akhirnya, saya tiba di rumah kerja sahabat saya. Dia mengatakan kalau dia ada pekerjaan untuk memberikan bahan persiapan ibadah minggu pada penatua dan majelis gereja yang ditanganinya. Sebagai informasi, sahabat saya ini adalah pendeta resor. Pendeta resor biasanya menaungi beberapa gereja, yang disebut jemaat. Setidaknya ada enam jemaat yang dipegangnya. Hari itu, kami harus mengunjungi jemaat yang paling jauh dari lingkup resor. Dari rumah, kami harus kembali menempuh jalanan yang ekstrem selama 30 menit untuk dapat mencapai tujuan. Dua kali saya harus jalan kaki sambil memegang senter, karena medan yang begitu berat, sehingga tidak memungkinkan untuk berboncengan. Saya sangat kelelahan berjalan sejauh 100 meter, karena jalanan yang mendaki, berbatu, udara dingin yang menikam, serta kegelapan malam yang membuat resah. 

Akhirnya, kami sampai di rumah ketua jemaat (voorhanger) di sana. Saya kaget, karena ketua majelis di gereja perkotaan biasanya adalah seorang pejabat teras dengan rumah yang super mewah. Kali ini, saya menemukan rumah ketua jemaat terbuat dari papan, dengan menyajikan makanan dan minuman di peralatan jamuan yang terbuat dari kaleng. Dari rumah ketua jemaat itu, kami masih harus berjalan kaki. Ketua jemaat itu menggunakan sarung dan senter, teman saya juga mengeluarkan sarung yang dibawanya. Hanya saya yang tidak memakai sarung. Kami tiba di rumah salah satu penatua. Lumayanlah dalam hatiku berbisik, tidak pakai papan dan sudah terlihat seperti rumah yang semestinya. Lalu, sahabat saya memperkenalkan saya pada acara persiapan pelayanan hari minggu, yang dihadiri sekitar 20 orang. Sahabat saya mengatakan pada peserta acara, bahwa saya tidak dapat berbahasa Simalungun. Mereka semua tertawa. Ada beberapa orang yang mencoba mengajak saya berbicara. Saya merasa bahasa Indonesianya aneh. Berulangkali saya merasa ditertawakan dan dibicarakan dalam bahasa Simalungun. Saya pun tidak tahu artinya.

Acarapun selesai. Waktu di jam tangan saya menunjukkan pukul 23.30 WIB. Saya sudah sangat lelah, karena dari pagi saya mengikuti ujian dan sampai malam harus melakukan perjalanan yang berat. Kami tiba di rumah sekitar pukul 12 malam. Saya bertanya pada sahabat saya, “Apa yang mereka katakan?” “Mengapa mereka tertawa?”. Sahabat saya menjelaskan kepada saya bahwa mereka agak aneh berbahasa Indonesia, karena itu sesuatu yang sangat asing bagi mereka. Jadi, saya diminta untuk tidak langsung berpikir buruk. Keesokan harinya, saya hendak pulang ke kota Medan. Sebelumnya, saya diajak oleh sahabat saya untuk menjumpai sekretaris jemaat di gereja resor-nya. Saya sedikit heran, kalau di Jakarta, sekretaris jemaat biasanya bekerja sebagai pejabat dan memiliki peralatan sekretaris yang memadai. Namun, saya melihat sebaliknya. Sekretaris jemaat di sini adalah seorang petani, yang dokumennya dibundel dengan ikatan karet. 

Dalam perjalanan pulang ke medan, saya merenung bahwa sudah 110 tahun Injil (baca: Kekristenan) masuk ke tanah Simalungun. Ada banyak kemajuan yang dicatatkannya, seperti pendidikan, kesehatan, dan kemapanan bekerja telah dikembangkan melalui gereja. Belum pernah dalam pikiran saya ada jemaat atau warga gereja sampai di pelosok seperti itu, bahkan ada tempat yang belum ada listrik. Gereja di sana sangat besar-besar, sekalipun bukan gereja resor. Berbeda di pulau Jawa, gereja sangat kecil, sampai harus berkebaktian 3-4 kali dalam satu hari minggu. Petugas gereja dan jemaatnya juga dalam status yang sama, yaitu petani. Hal ini menjadi pertanyaan reflektif bagi saya, “Apakah saya siap dengan kondisi seperti ini?” Pendeta di perkampungan tidak hanya sebagai pengajar soal agama, tetapi juga pengajar bagaimana cara bertani yang baik, bergotong royong dengan baik, memberi pelajaran tambahan pada anak-anak di ladang/sawah. Ini adalah suatu tantangan yang besar. Kekristenan bukanlah soal kuantitas (jumlah), melainkan soal kualitas. Meningkatkan taraf hidup masyarakat di perkampungan agar hidup layak dan dapat mengejar ketertinggalan dari masyarakat perkotaan adalah tugas pendeta. Pendeta tidak hanya mengurus soal surga-neraka di hari kelak saja, tapi juga kesejahteraan warga jemaat “saat ini dan di sini”. Menghadirkan wajah kekristenan yang damai diawali dengan pemberdayaan warga gereja untuk mencapai kesejahteraan. Bagi warga Kristen di Simalungun, selamat memperingati 110 tahun Injil masuk di tanah Simalungun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar