Senin, 23 November 2015

Khusus Dewasa: Tips Mengajar Sekolah Minggu bagi Guru Sekolah Minggu Laki-Laki


GSM GKPI JKJK 
Tulisan ini digagasi dari diskusiku dengan salah seorang Guru Sekolah Minggu (GSM) laki-laki saat kelas persiapan Sekolah Minggu (SM) beberapa hari lalu. Ia baru saja bergabung menjadi GSM di gerejanya. Ketika melakukan microteaching depan kelas, ia terlihat begitu gugup dan kacau. Sehingga, ia memberikan pertanyaan padaku sesaat setelah  microteaching-nya dievaluasi rekan-rekan GSM lain; “Bang, bagaimana caranya agar dapat menjelaskan cerita sekolah minggu dengan baik pada Anak Sekolah Minggu (ASM)?”.
Diskusi yang dikembangkan oleh GSM laki-laki
Sebagai orang yang dipercayakan untuk memimpin kelas persiapan GSM di gereja ini, aku memang menggunakan beberapa pendekatan belajar di dalam kelas persiapan. Aku ingin kelas persiapan SM menjadi laboratorium pelayanan Kategorial Sekolah Minggu. Aku membuka pembelajaran dengan memberikan topik diskusi bagi para GSM, yaitu: hal apa yang menarik perhatian mereka terkait nas maupun buku panduan? sesuatu yang sukar dipahami? sesuatu yang menjadi bahan pertanyaan? hal yang tidak logis? sampai sesuatu yang sangat kuat maknanya? Tujuannya tidak lain untuk membangkitkan daya analistis dari para GSM. Lalu, aku mencoba menghimpun hal-hal yang ditemukan para GSM itu untuk “menjahit”-nya dalam penjabaran teologis. Setelah konstruksi teologinya utuh, kemudian hal berikutnya adalah menurunkannya menjadi suatu sajian refleksi-aplikasi bagi para GSM. Prinsipnya, bagaimana mungkin para GSM dapat menceritakan nas firman Tuhan pada ASM sedangkan GSM sendiri tidak mengerti, tidak tersentuh, dan tidak hidup di dalam firman Tuhan itu? Lalu, tugas berikutnya semakin rumit, yaitu menurunkan sajian refleksi-aplikasi dari tingkat pemahaman GSM ke pemahaman ASM. Di sini, aku mencoba untuk mengembangkan semua kemampuanku yang sudah kupelajari di bangku akademik dibantu pengalaman serta wawasan dari para GSM. Hasilnya, aku sendiri terkadang merasa takjub akan kolaborasi yang boleh kami lakukan. Langkah terakhir adalah melakukan ujicoba mengajar melalui microteaching di kelas. 
Proses Micro Teaching saat Kelas Persiapan Sekolah Minggu

GSM tiap minggunya ditentukan siapa yang akan maju di depan kelas untuk mempraktekkan cara mengajar. Tujuannya agar para GSM memiliki kesiapan setidaknya 60% menjelang hari minggu besok. Karena kami melakukan persiapan di hari Kamis, tentu para GSM memiliki beberapa hari untuk menyempurnakan bahan, materi, dan metode mengajar mereka secara pribadi sampai tiba waktu mengajar di hari minggu.
Tak ada perlakukan spesial yang kuberikan baik bagi GSM senior maupun GSM yang baru bergabung. Mereka sama-sama diberi kesempatan untuk melakukan microteaching dan saling memberi evaluasi pada temannya yang melakukan microteaching. Evaluasi di sini bukanlah sarana untuk saling menjatuhkan. Tapi, suatu kesempatan untuk saling memperkaya antarguru sekolah minggu. Microteaching dilakukan per kelas, yaitu kelas kecil, tengah, dan besar. Artinya, ada tiga GSM tiap minggunya melakukan microteaching. Ada hal menarik yang kutemukan setelah selama microteaching, yaitu: pertama, GSM senior sekalipun bisa tampil berantakan seperti GSM yang baru bergabung; kedua, terlihat metode para GSM dalam mengajar sangat terbatas dan terkesan asal mengajar saja; terakhir, GSM sering lalai dalam memilih diksi saat bercerita dan metode mengajar apa yang tepat jika memerhatikan usia ASM.
Kembali ke topik awal kita, pertanyaan dari seorang GSM laki-laki yang baru bergabung, “Bang, bagaimana caranya agar dapat menjelaskan cerita sekolah minggu dengan baik pada Anak Sekolah Minggu (ASM)?”. Hasil evaluasi memang menunjukkan kalau ia sangat kacau dalam delivery; baik itu pemilihan diksi, menekan demam panggung, dan mengatur tempo serta dinamika suaranya. Begitu pula, sistematika ceritanya yang sering gagal membangun konstruksi logika berpikir anak-anak dan orang dewasa karena sering menggunakan kalimat yang berulang-ulang dan kalimat tidak efektik. Adapun aku, aku sangat bergumul untuk menjawabnya. Karena, aku merasakan kerinduan untuk memperbaiki diri yang kuat di dalam dirinya yang baru saja gagal di microteaching. Dalam menjawab pertanyaannya, aku menggunakan pengalaman pribadiku karena aku yakin tidak ada cara memberi nasehat pada seseorang sebaik berbagi pengalaman. Aku secara terbuka mengatakan sekalipun sudah 8 tahun memimpin khotbah/mengajar, baik itu di kategorial orang dewasa maupun ibadah anak-anak, aku sendiri masih merasa gugup. Dan, kegugupanku saat ini tidak berbeda dengan pertama kali aku tampil. Jadi, bagiku, kegugupan itu adalah hal yang wajar. Semua orang pasti merasakannya, bahkan mereka yang disebut sebagai profesional sekalipun. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara menekan rasa gugup itu? Bagaimana berkhotbah/mengajar yang baik? Secara pribadi, ada beberapa tipsku untuk menyampaikan berkhotbah/mengajar, baik di kalangan orang dewasa maupun kalangan anak-anak. Dan, tipsku itu kutemukan dari pengalamanku ketika mendekati seorang perempuan yang kucintai. Aku tidak tahu apakah aku keliru dengan menyamakan mengajar/khotbah dengan cara seorang laki-laki menjalin komunikasi dengan perempuan yang dicintainya bahkan mengungkapkan perasaannya.  Ada pun tips dariku yang mungkin terdengar aneh, yaitu:
 Pertama, jika seorang laki-laki hendak mendekati perempuan yang dicintainya, ia harus berjuang mendapatkan sebanyak-banyak informasi tentang perempuan yang dicintainya itu. Entah itu lewat teman dekatnya, atau memata-matainya di jejaring sosial, bagaimana pun carany!. Informasi itu haruslah dapat dipertanggungjawabkan keakurasiannya, karena kalau salah mendapatkan informasi maka peluangnya mendapatkan perempuan yang dicintai besar kemungkinan akan hilang. Begitu pula dalam mengajar dan berkhotbah, informasi di dalam khotbah/mengajar harus dapat dipertanggungjawabkan sumbernya. Sebelumnya, kita perlu juga menyadari bahwa pelayanan firman di kalangan dewasa maupun di kalangan anak-anak merupakan hal yang sama, yaitu memberi suatu bentuk pengajaran di depan umum. Dari kesadaran akan mengajar di depan umum itu, tentu ada hal yang harus dipersiapkan secara serius. Mengapa? Karena, jangan sampai yang mengajar malah sesungguhnya menjadi seorang yang harus belajar dari yang diajari. Untuk itu, pertanggungjawaban materi mengajar/khotbah harus diperhatikan saksama. Bahan yang digunakan untuk materi harus diperhatikan sumbernya. Internet memang banyak menawarkan sumber informasi dan pengetahuan, tapi tak jarang isinya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai seorang yang sering menyampaikan firman Tuhan, baik lewat pengajaran maupun khotbah, aku bukannya tidak sering menggunakan internet. Tapi, internet hanya sebagai sumber sekunder. Materi yang hendak ingin kukembangkan adalah materi yang benar-benar kukuasai dan bahan-bahannya sudah ada dalam buku-buku yang pernah kubaca. Sehingga, internet dijadikan sebagai informasi pembanding dari bahan yang telah kugodok menjadi materi utama. Apakah ada informasi lain yang tidak kudapat atau terlewatkan olehku. Dengan demikian, sebagai seorang pengajar/pengkhotbah, aku memiliki materi yang kukuasai dan dapat dipertanggungjawabkan informasinya.
Kedua, setelah mendapatkan informasi tentang perempuan yang dicintainya, laki-laki itu harus membangun komunikasi dengan perempuan itu. Tentu, tidak semua informasi yang didapatkan dijadikan bahan komunikasi. Mengapa? Karena, perempuan itu bisa menjadi tidak nyawan. Atau, bisa jadi, bahan informasi yang digunakan itu tidak tepat untuk situasi perempuan yang dicintainya saat itu. Misalnya, ada informasi kalau perempuan yang dicintainya itu senang makan es krim, tapi saat ini ia tidak makan es krim karena lagi ikut program diet. Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau laki-laki itu cerita tentang es krim pada perempuan yang dicintainya yang tengah menjalani program diet? Perempuan yang dicintainya itu tentu akan menjadi sangat tidak suka. Dengan demikian, hal yang harus diperhatikan kemudian baik dalam mendekati seorang perempuan dan berkhotbah/mengajar adalah pemilihan materi apa yang sebaiknya disampaikan. Mengapa? Karena, selain penguasaan materi berdasarkan bahan yang dapat dipertanggungjawabkan, kita sebagai pengajar/pengkhotbah juga harus memerhatikan saksama situasi dari pendengar khotbah/pengajaran kita. Kondisi sosial apa yang tengah berkembang di tengah pendengar? Sebagai lanjutan pertanyaan bagaimana latar belakang sosial, antropologis, psikologis dari pendengar khotbah/pengajaran? Pemilihan materi pembicaraan yang tepat akan menarik perhatian orang yang sedang kepadanya kita bercerita. Mereka tidak akan pernah bosan mendengar cerita saat itu.

Salah Seorang GSM Laki-Laki yang Baru di GKPI JKJK
Ketiga, untuk mendukung komunikasi yang  berkualitas dengan perempuan yang dicintainya, laki-laki itu tentu harus memiliki metode pendekatan apa dalam komunikasi, di mana di dalamnya juga berbicara tentang media. Laki-laki itu harus memastikan ia memulai komunikasi dengan media apa? Apakah pesan singkat (SMS)? Twitter? Facebook? BBM? Path? Instagram? Atau, mengajak bertemu langsung berdua? Tentu, perempuan yang dicintainya harus merasa nyaman terlebih dahulu dengan media komunikasi, karena kalau tidak pembicaraan akan segera berakhir dan meninggalkan kesan yang kurang baik. Dan, peluang mendapatkan kesempatan atau perhatian dari perempuan yang dicintai akan semakin mengecil. Begitu pula dalam mengajar/berkhotbah, metode dan media menjadi unsur yang penting. Metode apa yang akan digunakan dalam mengajar/berkhotbah? Story telling? Diskusi? Role Play? atau yang lainnya? Begitu pula medianya. Apakah menggunakan media bercerita dengan menarik? Video clip? Alat peraga? Boneka Panggung? Atau yang lainnya? Penggunaan metode dan media yang tepat menjadi nilai yang sangat krusial bagi seorang pengajar/pengkhotbah. Jika berhasil memilih metode dan media yang tepat, maka pendengar akan dengan mudah terfokus pikirannya pada pengkhotbah/pengajar, yang seolah mengatakan, “Ayo dengarkan aku! Perhatikan aku!”
Terakhir, lakukanlah! Seorang laki-laki tentu pada akhirnya harus berkomunikasi dengan perempuan yang dicintainya. Setiap persiapan dan pendekatan yang telah dilakukan dengan matang dapat digunakan dalam membangun komunikasi.  Persoalan utama dalam tahap terakhir ini adalah mental yang kuat. Contohnya, sebagai seorang laki-laki, aku adalah tipe laki-laki yang buruk dalam berkomunikasi maupun mengungkapkan perasaanku. Aku tidak berani untuk memulai komunikasi dengan perempuan yang kucintai, bahkan menatap matanya saja pun aku tidak berani. Tapi, aku harus memiliki mental yang kuat untuk mengatasinya. Aku tidak akan pernah tahu hasilnya bila tidak mencoba. Ini membuatku menjadi mengubah karakter yang bukan diriku yang sebenarnya. Aku aslinya sangat susah merangkai kata untuk bercerita dengan perempuan yang kucintai. Bahkan, terkesan sangat parah. Tapi, aku mau tidak mau harus melakukannya. Begitu pula saat mengajar/berkhotbah, walaupun kita bukanlah seorang yang suka bercerita, mau tidak mau dalam pengajaran/khotbah, kita harus bercerita. Tidak ada pilihan lain! Memang hal itu akan menjadikan diri kita bukan diri kita yang sebenarnya. Namun, ia tidak bisa dihindari. Aku jadi teringat dengan seorang teolog PAK yang terkenal dengan buku Seri Selamat-nya, Andar Ismail. Aku selalu bertemu dengan beliau tiap hari Rabu dan Jumaat saat aku bekerja sebagai editor di toko buku BPK Gunung Mulia, Jakarta. Ia adalah seorang yang kaku, pendiam, dan cenderung seperti sombong. Sangat berbeda dengan Andar Ismail yang ada di buku Seri Selamat, yang ceria, penuh cerita, lucu, dan tidak jarang menungkapkan hal-hal yang konyol. Aku menjadi sadar mengapa banyak respons yang mengatakan Andar Ismail itu di dunia nyata tidak seperti di dunia tulisannya? Terkadang, ada kalanya kita memang harus menjadi bukan diri kita sendiri . Begitu pula dengan orang yang jatuh cinta, pengkhotbah, dan pengajar, mereka sering menjadi bukan diri mereka sendiri. Hal itu masih dalam tahap wajar jika mereka masih dapat menyadari perbedaan itu. Yang berbahaya adalah saat seseorang tidak menyadari ada kepribadian ganda dalam dirinya.
Dari sedemikian jauh tips yang dibagikan, mungkin ada di antara kita yang berkomentar bahwa aku terlalu gila menyamakan cara berkhotbah/mengajar dengan cara seorang laki-laki berkomunikasi dengan perempuan yang dicintainya. Aku tidak ingin berdebat dengan mereka yang memandangku demikian. Mengapa? Karena, ada kalanya hal spiritual ini didekati dengan cara percintaan. Seperti, kitab Kidung Agung sebagai contohnya. Walaupun kitab itu jarang digunakan dalam berbagai ibadah, tapi bukan berarti kitab itu bukan bagian dari Alkitab/firman Tuhan. Akhirnya, semoga tips ini bermanfaat bagi para GSM laki-laki. Tuhan memberkati!

Selasa, 17 November 2015

Jika Mencintaimu adalah Topik Tesisku!

Olaf

Engkau adalah tesis yang hendak kutulis,
Entah harus dimulai dari huruf apa, kata apa, kalimat bagaimana?
Aku tidak tahu!
Cara terbaik menggambarkan dirimu seutuhnya memerlukan metode khusus,
Mungkin, pendekatan kualitatif agar dapat menjelaskanmu dalam bingkai kata,
Tapi, bagaimana caraku menggumpulkan data lapangan keseharianmu?
Engkau begitu jauh dariku, dan lagi berbicara denganmu saja aku tidak bernyali!
Baiklah, aku mungkin hanya perlu mengubah tesisku ke pendekatan kuantitatif,
Tujuannya ingin memeriksa seberapa kuat hubungan kita dalam sajian angka.
Aku adalah variable bebasnya,
Kamu adalah variable terikatnya,
Dan cinta adalah variable kontrolnya.
Akhirnya, tesisku ada titik terangnya. Tapi, tunggu dulu!
Aku teringat engkau sudah menolak cintaku, relasi apalagi yang perlu kucari?
Aku pun tidak tahu!
Segera aku menyadari aku adalah sarjana yang gagal dalam bidang percintaan,
Dan, engkau adalah tesis yang tidak akan pernah aku selesaikan.

Sabtu, 07 November 2015

Mati Satu Kali Untuk Keselamatan Semua (Ibrani 9 : 24 – 28)


Khotbah di Ibadah Umum GKPI Jem.Khusus Jambi Kota
Minggu, 8 November 2015

 
Ilustrasi : Sumber Internet
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus Sang Kepala Gereja!
Suatu kali, seorang anak ditugaskan orangtuanya untuk mengunci semua pintu dan gerbang rumah karena hari segera malam dan mereka harus beristirahat. Anak ini meminta waktu beberapa saat lagi mengerjakan tugas itu karena sedang asyik menonton TV. Orangtuanya kemudian mengingatkan lagi agar anak itu jangan sampai lupa sehingga mereka  dapat beristirahat dengan aman dari pencuri yang dapat datang tiba-tiba. Entah karena apa, anak ini lupa untuk mengunci pintu dan gerbang rumah sekalipun sudah dua kali diperintahkan orangtuanya. Akibatnya, pada saat malam, pencuri dapat dengan mudah masuk ke rumah. Mereka sekeluarga disekap dan para pencuri mengambil semua benda berharga yang mereka miliki. Setelah peristiwa mengerikan ini berakhir, anak itu menangis sekuat-kuatnya di hadapan orangtuanya memohon agar dimaafkan karena sudah menyesali perbuatannya yang tidak menuruti perintah orangtua. Adapun orangtua dari anak ini adalah seorang pemaaf yang selalu memberikan kesempatan pada anaknya agar menjadi lebih baik lagi di hari yang mendatang. Namun, sepertinya, anak ini kurang memahami apa arti maaf.. Satu kali, saat tengah mati lampu, anak ini kembali ditugaskan orangtuanya agar setelah selesai belajar ia tidak lupa untuk makan malam lalu mematikan lilin yang ada di dapur. Anak ini meyakinkan orangtuanya bahwa ia akan segera mematikan lilin yang ada di dapur setelah ia selesai belajar dan makan malam. Belum selesai belajar dan makan malam, anak ini perhatiannya teralihkan oleh nyamannya tempat tidur. Dalam hati, ia bertekad hanya rebahan sebentar kemudian melanjutkan aktivitas belajar dan makan malamnya sehingga ia tidak perlu meniup lilin di dapur. Tanpa disadari, anak ini ketiduran dan lilin yang ada di dapur sudah habis perlahan membakar meja makan kayu. Perlahan api merambat sampai ke tabung gas sehingga menimbulkan ledakan besar dan kebakaran hebat. Anak itu segera tersadar kalau telah terjadi kebakaran yang sangat hebat di rumah mereka. Ia hanya bisa menyelamatkan dirinya sendiri karena ruangan sudah penuh api. Setelah berhasil menyelamatkan diri, ia baru mengetahui jikalau orangtuanya menjadi korban dalam kebakaran hebat itu. Ia menangis sejadi-jadinya ingin meminta maaf pada orangtuanya tapi apa daya  tidak ada kesempatan lagi baginya untuk minta maaf. Ia hanya akan meratapi nasib seumur hidupnya, berharap dapat memutar waktu, dan mendapatkan kesempatan kembali untuk memperbaiki kesalahannya.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus!
Cerita tadi memberikan pesan moral pada kita bahwa kesempatan selalu ada diberikan pada tiap orang, sampai kesempatan itu habis dengan sendirinya karena tidak dimanfaatkan dengan bijak. Demikian juga nas kita pada saat ini ingin mengajak kita, umat percaya, untuk dapat menggunakan kesempatan yang ada di dalam kehidupan ini agar memberi keselamatan bagi hidup kita pada akhirnya. Kitab Ibrani, yang tidak diketahui secara pasti siapa penulisnya, ingin menuturkan bahwa kematian Kristus yang satu kali di kayu salib itu memberikan kesempatan pada kita dalam kehidupan ini. Namun, bagaimana itu bisa terjadi? Dan, bagaimana cara menggunakan kesempatan itu? Inilah firman Tuhan yang akan kita refleksikan pada saat ini.
Hal pertama, bagaimana kematian Yesus dapat menjadi suatu kesempatan bagi kita? Jika merujuk pada garis besar dari kitab Ibrani, isi kitab ini terbagi menjadi empat bagian besar, yaitu: berbicara tentang superioritas firman Allah yang ada pada Yesus itu lebih hebat daripada malaikat dan Musa; penggambaran Yesus sebagai imam besar yang pengurbanan tidak dilakukan dengan upacara kurban binatang melainkan dengan darah-Nya sendiri; pengurbanan Yesus membawa penghapusan dosa melayakkan manusia untuk masuk ke tempat yang dijanjikan itu; serta terakhir serangkaian nasehat penutup.  Dari keempat gambaran garis besar itu, kita dapat memahami bahwa kitab Ibrani pada dasarnya ingin berbicara bahwa Yesus yang adalah Imam besar sesungguhnya juga sekaligus menjadi kurban persembahan yang berfungsi sebagai pengantara ke dalam perjanjian yang baru. Hal ini sangat rumit dipahami dan menyisakan banyak pertanyaan. Yesus bukanlah seorang Lewi yang memiliki hak menjadi seorang imam, bahkan imam besar. Kemudian, seorang imam besar tentu akan membawa kurban persembahan darah binatang sebagai penebusan dosa bukan memberikan darah dan nyawa-Nya sebagai bagian proses dari penebusan dosa. Ritual persembahan kurban juga tidak terjadi hanya sekali seperti yang dilakukan oleh Yesus melainkan setiap tahunnya. Kerumitan ini yang membuat kitab Ibrani dianggap sebagai kitab yang penuh teka-teki dan berkonten teologi yang sangat sukar untuk dipahami.
Akan tetapi, dengan hikmat Roh Kudus, kita tentu dapat mencoba berusaha menguraikan maksud dari kitab ini sehingga kita mendapatkan sesuatu bagi iman kita. Ketika kita perhatikan ayat 24-25, kalimat di situ ingin menunjukkan bahwa Yesus lebih superior dari imam besar, seperti Harun  yang sehari-harinya melakukan ritus persembahan pada hari raya penebusan di ruang maha suci buatan manusia. Tetapi, Yesus dikatakan benar-benar masuk ke dalam ruang suci yang disebut sorga itu. Suatu ruang yang bukan diciptakan oleh manusia dengan rekayasa tata-ruang. Ruang yang sungguh-sungguh tempat Allah hadir. Memercikan darah yang bukan darah kurban binatang, tetapi darah Yesus sendiri sebagai persembahan.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Tentu, ketika Yesus memberikan darah-Nya sebagai persembahan, hal itu menjelaskan bahwa Yesus merelakan nyawa-Nya guna penebusan dosa manusia. Inilah yang harus kita pahami saksama, karena saat mengurbankan diri-Nya, Yesus saat itu seutuhnya manusia biasa seperti kita. Kemanusiaan Yesus membuat-Nya hanya mati satu kali seperti manusia biasa lainnya. Dengan demikian, kematian Yesus tidak terjadi berulang-ulang, tetapi hanya satu kali saja (ay.26-27). Setelah pengurbanan itu terjadi, maka penebusan dosa manusia sudah tuntas dilakukan Yesus di kayu salib untuk semua orang. Jika sebelumnya hubungan manusia dan Allah rusak karena dosa, kali ini sudah diperbaiki oleh pengurbanan Yesus. Persoalannya kemudian adalah apakah ada jaminan bahwa manusia sudah pasti beroleh keselamatan? Ternyata, jawabannya belum. Di ayat 28 dikatakan, “Sesudah itu (setelah mencurahkan nyawa-Nya), Ia kan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia”. Makna dari ayat ini sudah jelas. Ibarat seorang anak dalam cerita sebelumnya sudah dimaafkan melalui pengorbanan orangtuanya, tidak ada jaminan bagi anak itu tidak melakukan kesalahan lagi. Demikian pula dengan kita manusia berdosa. Ketika, Yesus menebus dosa kita itu berarti ia telah memberikan kita kesempatan untuk tidak mengulangi keberdosaan kita. Dan, bagi siapa yang dapat memanfaatkan kesempatan itu, berarti mereka adalah orang yang menantikan Yesus, sehingga pada mereka dianugerahkan keselamatan. (ay.29). Dan, jika kita tidak memanfaatkan kesempatan itu, tentu kita akan mengalami seperti apa yang terjadi pada anak kecil yang ada di cerita awal tadi. Inilah yang dimaksud dengan pengurbanan Yesus memberikan kita kesempatan.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan!
Pertanyaan kedua sekaligus yang terakhir adalah bagaimana cara kita memanfaatkan kesempatan itu agar kita dianugerahkan keselamatan? Bukankah dalam ajaran reformasi gereja dikatakan “keselamatan itu bukan karena usaha kita melainkan anugerah semata”? Adalah benar keselamatan bukan atas usaha atau kerja keras manusia untuk mencapainya. Oleh karena itu, umat percaya wajib mensyukuri rancangan keselamatan Ilahi yang dilakukan oleh Yesus melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Dengan demikian, cara kita memanfaatkan kesempatan itu adalah dengan mensyukuri pemberian luar biasa yang diberikan oleh Yesus kepada kita, yang ditebus dengan harga mahal melalui darah-Nya, yaitu penebusan dosa. Dengan bersyukur, kita akan bertekad untuk hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi, perbuatan baik kita bukan didasarkan pada tujuan ingin segera selamat, melainkan atas rasa syukur kita atas keselamatan yang Tuhan janjikan melalui pengurbanan darah-Nya. Sebagaimana Yesus adalah Imam Besar, dalam ajaran reformasi gereja, kita juga adalah imam yang rajani. Konsep imam yang rajani atau imamat am orang percaya tentu harus lekat di dalam kehidupan umat percaya dalam rangka rasa syukurnya kepada Tuhan. Anwar Tjen, seorang sarjana Biblika asal Indonesia, menjelaskan bahwa titik tolak Luther dalam berbicara tentang imam adalah Kristus sendiri; “Kristus adalah imam besar, ada yang lebih tinggi daripada Dia yang diurapi Allah. Dia telah mengurbankan tubuh-Nya bagi kita. Tidak ada jabatan imam yang lebih tinggi lagi. Sejalan dengan itu, di atas salib Dia berdoa bagi kita. Dia memberitakan Injil dan mengajarkan semua orang untuk mengenal Allah dan diri-Nya. Jadi, karena Dia adalah seorang imam dan kita ini saudara-saudara-Nya, maka semua orang percaya mempunyai kuasa dan mendapat perintah yang harus dilakukan untuk berkhotbah, mendekat kepada Allah, berdoa bagi satu sama lain, dan mempersembahkan diri kita sebagai kurban kepada Allah. Reinterpretasi seperti ini memungkinkan Luther menafsirkan secara radikal nilai pekerjaan sehari-hari. Imamat yang Kristus genapi yang tidak dapat diulangi tetapi menjadi model bagi imamat yang dilakoni umat-Nya. Seperti para imam mempersembahkan kurban dalam Perjanjian Lama, demikianlah orang percaya sebagai imam mempersembahkan kepada Allah segala jenis pekerjaan duniawi, entah sebagai tukang jahit, tukang kayu, tukang masak, ataupun penjaga penginapan.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus!
Dari sedemikian jauh pembahasan firman Tuhan, maka ada dua hal yang dapat kemudian kita simpulkan sebagai refleksi mendalam guna diaplikasikan ke dalam kehidupan beriman kita, yaitu:
Pertama, sebagai umat beriman, kita diingatkan untuk benar-benar memahami kesempatan yang Tuhan telah berikan pada kita. Pengurbanan-Nya hanya terjadi satu kali untuk selamanya dan bagi semuanya. Sehingga, kita tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Yang menjadi permasalahan adalah jika kita sebagai umat percaya tidak pernah merasakan urgensi dari pengurbanan Yesus di kayu salib sehingga kita kurang memaknai pentingnya memanfaatkan kesempatan yang telah Tuhan berikan. Jika demikian, kita tentu harus lebih banyak mengenal firman Tuhan secara serius. Mungkin, hal itu disebabkan waktu kita untuk berkomunikasi dengan Tuhan sangat kurang, baik itu dalam ibadah maupun berdoa;
Terakhir, jika kita dapat merasakan urgensi dari kesempatan yang Tuhan berikan, tentu kita harus benar-benar memanfaatk kesempatan itu dengan baik. Seperti yang ditekankan oleh Martin Luther bagaimana umat percaya yang juga adalah imam mempersembahkan pekerjaannya kepada Tuhan harus benar-benar memaknai pekerjaannya adalah rasa syukurnya atas pengurbanan darah Yesus. Dengan demikian, umat percaya akan dengan sungguh-sungguh bekerja. Mereka akan menjadi pekerja yang jujur, takut akan Tuhan, serta menaruh pengharapannya kepada Tuhan. Mereka tidak akan menghujat Tuhan jikalau sedang mengalami kondisi yang sulit. Juga tidak segera melupakan Tuhan jika kondisi sedang bersukacita. Mereka menaruh hormat kepada Tuhan seperti pada sesamanya. Mereka menjalin komunikasi yang baik dengan Tuhan melalui doa, ibadah, dan persembahannya. Karena, mereka memaknai bahwa Yesus telah mati satu kali untuk keselamatan manusia. Tuhan memberkati